Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bahan Kimia Plastik Bikin Anak Laki-laki "Melambai?"

Kompas.com - 18/11/2009, 14:32 WIB

KOMPAS.com — Bahan kimia yang terdapat dalam plastik dicurigai memengaruhi perkembangan otak pada bayi laki-laki dan menyebabkan mereka bersikap lebih feminin. Demikian kesimpulan para peneliti dari University of Rochester, Amerika Serikat.

Menurut para ahli, bayi laki-laki yang sejak dalam kandungan terlalu sering terpapar oleh phthalates, bahan kimia berbahaya, cenderung lebih bersikap feminin. Phthalates sejak lama diketahui menganggu hormon testosteron. Beberapa jenis phthalates juga mirip dengan hormon wanita, estrogen. Para ahli juga menduga bahwa beberapa kasus bayi yang lahir dengan kelainan organ genital disebabkan oleh bahan kimia berbahaya tersebut.

Phthalates banyak digunakan sebagai pelunak plastik dan membantu menstabilkan bau harum pada produk perawatan bayi. Phthalates antara lain digunakan untuk lotion, sampo, bedak bayi, mainan anak, kosmetik, dan pengepak makanan. Ada beberapa tipe phthalates yang dipakai industri, termasuk juga dalam tekstil, lem, dan bahan pelapis lantai.

Dalam risetnya, Dr Shanna Swan dan timnya melakukan tes urine pada ibu hamil yang hampir melahirkan untuk meneliti tingkat paparan phthalates. Kemudian, para relawan yang melahirkan 74 bayi laki-laki dan 71 bayi perempuan diamati hingga anak mereka berusia tujuh tahun.

Anak-anak itu kemudian ditanyai mengenai jenis permainan yang mereka sukai atau teman bermain favoritnya. Hasilnya ditemukan, anak laki-laki yang saat dalam kandungan memiliki tingkat phthalates tinggi cenderung lebih suka permainan yang lembut. Mereka tidak menyukai mainan mobil-mobilan atau pistol-pistolan serta menghindari permainan yang "kasar" seperti bergulat.

Meski anak-anak ini masih berusia dini, sebagian ahli menilai bukan tidak mungkin mereka akan tumbuh menjadi pria yang lebih feminin.

Sementara itu, Lembaga Pengawasan Plastik Eropa atau European Council for Plasticiser and Intermediates berpendapat bahwa hasil studi ini terlalu dini untuk disimpulkan.

"Kita butuh bukti yang lebih ilmiah sebelum membuat penilaian yang imbang," kata Tim Edgar, perwakilan dari lembaga tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau