”Kemarin pulang malam, pasti jalan-jalan sama cewek, ya,” tanya istri dengan rasa cemburu.
Jawab suami : ”Memang, kamu mau apa” (dengan nada keras sambil membentak).
Jawaban yang mematahkan tersebut pasti membuat si istri terdiam, sedih bercampur marah yang tertahan. Padahal, sebetulnya keterlambatan pulang si suami disebabkan ban mobil pecah ditambah dengan kemacetan lalu lintas. Andaikan suami mengutarakan sebab keterlambatan dengan baik dan jujur, rasa marah, curiga, dan kesedihan istri yang tertahan tidak akan terakumulasi dengan kemarahan tertahan oleh masalah lain.
Contoh lain: ”Kehidupan seks kita rasanya kurang sehat, ya. Kenapa kita tidak mendiskusikannya atau kita konsultasi ke dokter, yuk,” ungkap suami.
Jawaban yang terpatahkan adalah: ”Apa sih, emang kamu lagi horni’ ya? Ayolah, cepat kita lakukan sekarang....”
Reaksi verbal istri semacam itu pasti akan membuat pihak suami terdiam. Bahkan, kalaupun masih tersisa ketertarikan erotik terhadap istri, komunikasi yang terpatahkan dari pihak istri tersebut akan mematikan gairahnya.
Andai kata istri berbalik tanya, ”Tidak sehatnya di mana, sih, Mas?” Maka, diskusi antarpasangan suami-istri tentang kehidupan seksual yang sehat akan terbuka peluangnya sehingga komunikasi tidak akan terpatahkan dan kekesalan tertahan pada pihak suami pun tidak terpupuk. Diskusi tentang masalah intim antarpasangan akan justru meningkatkan kadar ketertarikan erotik pada kedua belah pihak dan tidak tertutup kemungkinan kehidupan seksual di antara mereka membaik tanpa harus mencari pertolongan profesional.
Komunikasi terpatahkan yang berlanjut berbulan, bahkan bertahun, akan membawa kehidupan perkawinan menyengsarakan kedua pihak. Mereka akan merasa tidak aman, tidak nyaman, dan tidak sejahtera. Kedua pasangan hidup di dunia masing-masing walaupun tinggal seatap.
Motif dasar
Seseorang, apakah itu istri atau suami, yang tanpa sadar mengembangkan komunikasi terpatahkan, pada dasarnya memiliki satu motif dasar tertentu. Apa itu? Motif untuk menunjukkan kekuasaan (power motive) mereka. Mereka merasa memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan pasangannya, bisa karena mereka berasal dari keluarga besar yang lebih kaya, lebih berpendidikan, daripada pada umumnya keluarga pasangannya.