Namun, hal ini tidak berarti bahwa setiap orang yang mengalami tekanan (stressor) selalu berisiko mengalami problem memori. Ada hal-hal lain yang ikut menentukan merosotnya daya ingat atau fungsi memori.
Faktor Usia
Dalam kasus ibu tadi, faktor usia tentu saja juga berpengaruh terhadap kemerosotan daya ingat. Wajar bila orang yang memasuki usia tengah baya mengalami kesulitan dalam memperhatikan, belajar, dan mengingat kembali.
Pada masa-masa itu sebagian besar orang mengalami proses degeneratif pada sel-sel saraf otak yang menjalankan tugas menerima–menyalurkan–menyimpan informasi atau pengetahuan. Komunikasi antarsel saraf (neuron) yang terjadi pada saat kita melakukan proses mengingat atau melakukan fungsi kognitif lain telah berkurang atau terganggu setelah seseorang memasuki usia lebih lanjut.
Mengenai pengaruh faktor usia, dapat dikatakan bahwa sel-sel saraf otak memang sebagian mengalami kerusakan setelah seseorang menjadi tua. Namun, perlu kita ketahui bahwa neuron-neuron baru juga tumbuh (proses neurogenesis) sepanjang hidup kita, meski tidak sebanyak pertumbuhan pada masa kanak-kanak dan remaja. Dengan demikian, kita dapat menemukan adanya orang-orang lanjut usia yang fungsi kognitifnya tetap efektif.
Gangguan Emosi dan Kognisi
Selain faktor usia yang memberikan kemungkinan penurunan fungsi memori, peristiwa-peristiwa hidup yang sangat menekan yang terus ditanggapi dengan emosi negatif merupakan pemicu terjadinya penurunan fungsi kognitif dalam kasus ibu di atas. Dalam keadaan stres berat dan depresi seseorang memang cenderung mengalami penurunan fungsi kognitif (tidak mampu memahami sesuatu dengan baik, berpikir dengan lancar, termasuk mengingat informasi dengan baik).
Bagaimana hal ini terjadi? Aaron P. Nelson dari Harvard Medical School yang aktif sebagai praktisi yang menangani masalah-masalah memori, menegaskan bahwa gangguan psikologis seperti depresi, PTSD, dan stres berat, dapat mengganggu tercapainya ingatan yang optimal. Meski demikian, bila masalah psikologis itu diatasi, fungsi ingatan akan pulih.
Depresi dapat menyebabkan kesulitan berkonsentrasi, berfokus pada detail, dan menyerap informasi baru. Gangguan tidur yang sering menyertai depresi jelas menyebabkan permasalahan kognitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang depresi dapat menyebabkan hilangnya neuron pada hipokampus dan amigdala, yaitu bagian otak yang sangat penting bagi ingatan.
Sebuah penelitian yang diakses oleh Nelson menunjukkan bahwa wanita yang memiliki sejarah depresi yang terus-menerus memiliki hipokampus dan amigdala lebih kecil (terjadi penyusutan neuron-neuron) daripada wanita yang tidak depresi. Wanita itu memiliki performa buruk dalam tes ingatan verbal.
Dalam pengalaman praktik klinik Nelson, kombinasi psikoterapi dan pengobatan terhadap depresi serta gangguan tidurnya dapat mengatasi masalah tersebut dengan baik dan mengembalikan fungsi-fungsi kognitifnya secara menyeluruh. Hal ini dimungkinkan bila keadaan depresinya tidak berkembang menjadi penyakit alzheimer (penyakit lupa yang memiliki dasar neurologis) yang memerlukan penanganan lebih khusus.
Dalam kasus PTSD, ingatan terus-menerus akan peristiwa traumatik yang terjadi telah mengganggu proses akuisisi informasi baru dan mengingat informasi yang tidak ada kaitannya dengan trauma yang dialami. Yang menjadi persoalan adalah terjadinya stres serius yang terus-menerus ini mendorong diproduksinya hormon kortisol, yang pada akhirnya merusak struktur otak yang penting bagi ingatan, yaitu pada hipokampus dan sistem limbik.