Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Residu Pestisida Masih Jadi Masalah

Kompas.com - 05/07/2010, 04:45 WIB

KHAERUDIN dan INGKI RINALDI

Isu residu pestisida sudah berembus hampir 10 tahun. Sayuran dari dataran tinggi Karo ditolak masuk Malaysia dan Singapura, padahal kedua negara itulah pasar utama sayuran dataran tinggi Karo sejak tahun 1940-an.

Sejak 10 tahun lalu, puluhan eksportir sayuran Karo gulung tikar. Namun, dampak dari isu residu pestisida itu masih jadi beban perdagangan hingga kini.

Reman Barus, eksportir dari Berastagi, Kabupaten Karo, bercerita pernah merugi sampai Rp 1,4 miliar tahun 2004. Kerugian karena pembeli menolak membayar sayuran yang telah terkirim ke Malaysia. Karena harus membayar petani sayuran, seluruh gudang dan mobilnya dijual. Mencoba terus bertahan, pada tahun keempat, Reman kapok jadi eksportir sayuran.

Nasib serupa dialami Abel Sitepu, eksportir sayuran dari Kecamatan Tiga Panah. Abel gagal bayar hingga Rp 500 juta. Bahkan, tahun 2004, nasib 23 kontainer sayuran yang dikirimnya baru jelas setahun kemudian. Sejak itu Abel kapok menjadi eksportir. Kini bersama istrinya, Indera Tarigan, Abel hanya melayani permintaan sayuran pasar lokal di Sumatera Utara (Sumut) dan Pulau Jawa.

Kondisi Reman dan Abel seperti roda pedati. Saat masih berjaya sebagai eksportir sayuran, Reman setidaknya punya tiga gudang untuk menampung sayuran dari petani untuk diekspor ke Malaysia dan Singapura. Gudangnya tersebar di Kabupaten Karo, Dairi, dan Simalungun. ”Dulu mobil saya bukan Daihatsu Taft (keluaran tahun 1984) butut seperti itu,” ujar Reman menunjuk kendaraannya di depan gudang sayurnya.

Tidak bisa terus-menerus tak berpenghasilan, tahun 2006 Reman pelan-pelan kembali bertani. Saat kenalan lama menawarkan peluang ekspor ke Taiwan, ”Dulu kalau hanya mengirim 30-40 ton kol sehari ke Malaysia gampang. Kalau sekarang sudah hebat bisa mengirim 3 sampai 4 ton kol ke Malaysia dalam seminggu,” ujar Reman, eksportir sayuran sejak 1984.

Titik jatuh

Residu pestisida yang melebihi ambang batas menjadi pukulan untuk seluruh eksportir sayuran dari Karo di awal tahun 2000. Eksportir kentang, Kasman Ginting, merasakan betul pukulan isu residu ini. Eksportir kentang sejak 1985 itu mengaku belum pernah merasakan tekanan berat bisnis seperti saat ini.

Di saat jaya, dalam sehari Kasman mengekspor lebih dari 100 ton kentang ke Singapura dan Malaysia. Kini, masih dalam bayang-bayang isu residu pestisida, ia hanya bisa ekspor sekitar 6 ton kentang ke Penang, Malaysia. Itu pun pada tiga hari sekali.

Reman dan Kasman adalah dua dari tujuh eksportir sayuran dari Karo yang bertahan. Sebelum isu residu pestisida merebak, ada sekitar 70 eksportir sayuran.

Sejak 1913, dataran tinggi Karo merupakan pusat budidaya berbagai jenis sayuran dan produk hortikultura. Diawali saat Belanda membudidayakan kentang dan peleng atau bayam jepang. Imigran dari China yang sejak akhir abad ke-19 datang ke Sumut juga membawa bibit sayur putih seperti sawi dan buncis ke Karo.

Saat masa penjajahan Belanda itulah ekspor sayuran dari dataran tinggi Karo ke Malaysia sudah berlangsung. Sekadar ilustrasi, Tan Malaka yang datang ke Medan setelah mengembara dari Moskwa hingga Indocina (1942) mengisahkan ekspor sayuran dari Berastagi ke Malaysia dalam bukunya Dari Pendjara ke Pendjara. Dalam buku terbitan 1947 itu, Tan Malaka memuji kondisi pasar di Medan yang amat modern, bersih, besar, dan sehat. Pasar-pasar itu—kata Tan Malaka—menjual sayuran dari Berastagi dan sebagian diekspor ke Malaysia.

Ekspor sayuran dari Karo terhenti ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia tahun 1962-1965. Setelah terjadi normalisasi hubungan diplomatik dengan Malaysia, sayuran dari dataran tinggi Karo mengalir kembali ke sana. ”Ketika masih kecil, saya masih ingat orangtua sudah menjual sayuran ke Malaysia. Mereka baru berhenti ketika terjadi Gestok (Gerakan 30 September 1965),” tutur Indera.

Setelah Gestok, isu residu pestisida membuat usaha ekspornya terhenti. Indera yang mulai mengekspor sayuran sejak 1985 bersama Abel, suaminya, terpaksa berhenti menjadi eksportir tahun 2004.

Gudang sayuran milik pasangan Abel-Indera di Desa Simpang Sinaman, Kecamatan Tiga Panah, kosong. Padahal, saat jaya, gudang mampu menampung sayuran untuk dikirim dalam 23 kontainer ukuran 20 kaki kubik per hari. Dua truk berkapasitas 5 ton teronggok di sudut gudang. Satu truk rusak penuh karat.

Isu residu pestisida melebihi ambang batas diakui memang ada. Namun, isu itu diperluas bersamaan dengan politik dagang negara tujuan ekspor.

Kepala Dinas Pertanian Sumut Muhammad Roem mengakui, saat isu itu muncul, kandungan pestisida dalam sayuran yang diekspor memang melebihi ambang batas. Tidak ingin kecolongan lagi, pemerintah daerah makin ketat menguji residu pestisida akhir-akhir ini.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karo Nomi Sinuhaji mengemukakan, isu residu pestisida tak lebih dari bagian politik dagang untuk menjatuhkan harga sayuran asal Karo di Malaysia dan Singapura. ”Mulai awal tahun 2000, bukan hanya kami yang memasok sayuran ke Malaysia, tetapi juga RRC, Vietnam, dan Thailand,” katanya.

Adanya campur tangan politik dagang itu diyakini ada oleh Kasman dan Reman. Reman mengungkapkan, penggunaan pestisida oleh petani sebelum dan sesudah tahun 2000 tetap sama. Bahkan, menurut Benni Sembiring, petani sayuran, sekarang penggunaan pestisida bisa jadi lebih banyak dibandingkan saat isu residu pestisida muncul.

Kepala Laboratorium Pestisida Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Sumut Eli Martona menyatakan, saat ini sangat kecil kemungkinan ada sayuran dari dataran tinggi Karo yang melebihi ambang batas residu pestisida. ”Kami mengecek secara acak dua kali setiap bulan. Sampel sayurannya langsung diambil dari petani,” kata Eli.

Laboratorium Pestisida BPTPH Sumut sudah mengantongi sertifikasi internasional dan diakui lembaga seperti Agri-food and Veterinary Authority (AVA) Singapura. ”Kami sudah pernah mengundang AVA untuk datang ke Sumut,” kata Roem.

Ekspor sayuran dari dataran tinggi Karo merupakan bagian mata rantai kehidupan pertanian di sana. Eksportir hanya salah satu mata rantainya. Petani sayuran, pengusaha ekspedisi dan buruhnya, serta buruh tani di ladang dan gudang eksportir merupakan mata rantai lain, yang ikut terpukul ketika isu residu pestisida membuat anjlok volume ekspor sayuran dari dataran tinggi Karo. Dampaknya masih terasa hingga kini.

Diakui, maraknya ekspor sayuran saat itu mendongkrak penyerapan tenaga kerja di sektor itu. Reman mencontohkan, sebelum tahun 2000 ia mempekerjakan 80 buruh di gudangnya, tetapi sekarang tinggal 25 buruh. ”Dulu per bulan saya keluar Rp 36 juta untuk gaji pekerja, sekarang paling banyak Rp 15 juta.”

Peran pemerintah

Saat isu residu pestisida bukan lagi halangan, masalah baru kini menghadang para eksportir. Di dalam negeri, penanganan sayuran ekspor di Pelabuhan Belawan maupun Teluk Nibung Tanjung Balai kerap telat. Crane rusak hingga ketiadaan fasilitas gudang pendingin (cold storage) mengancam kualitas sayuran. ”Kadang kalau crane rusak, sayuran bisa tertahan 4 hari di Belawan. Sampai Malaysia dan Singapura sayuran jelas rusak. Pembeli mengklaim kerusakan tersebut ke kami,” kata Kasman.

Lambatnya penanganan di pelabuhan hingga 12 hari membuat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumut Riadil Akhir Lubis tak habis mengerti. Padahal, Pelabuhan Belawan sudah menerapkan sistem national single window (NSW) untuk kelancaran arus keluar masuk barang.

Masalah ini belum ditambah persoalan seperti gagal bayar yang sampai sekarang masih menghantui eksportir sayuran. Hampir seluruh eksportir sayuran tak mengenal mekanisme LC (letter of credit). Mereka hanya kenal istilah, ada barang maka ada uang. ”Saya hanya minta uang muka 50 persen dari barang yang kami kirim. Selebihnya dikirim setelah barang sampai ke pembeli,” ujar Kasman.

Menurut Kasman, pemerintah perlu mendirikan perwakilan dagang di luar negeri untuk aktif mengurusi kepentingan ekspor dan impor. Perwakilan dagang menjadi jaminan kelancaran dan kebangkitan kembali ekspor sayur-sayuran dari Tanah Karo.

Kepastian akan pasar produk-produk pertanian ini sangat penting dibandingkan penyuluhan soal tanaman apa yang harus dibudidayakan dan bagaimana melakukannya. ”Rakyat (petani) tidak usah dikasih tahu tanaman apa yang harus ditanam. Urusi sajalah distribusinya,” kata Kasman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com