Budi Suwarna
Setelah 10 tahun, Bagus Utomo (37) baru menyadari bahwa kakaknya, Bayu, menderita skizofrenia atau gangguan jiwa berat. Mengapa begitu lama?
Setelah minum obat, keadaan Bayu membaik. Namun, kapan saja, perilaku anehnya bisa kambuh. Dia tidak lagi hanya mengamuk, tetapi juga memaki ayahnya, memusuhi semua orang, dan berteriak histeris sepanjang malam. Perilaku itu berulang selama 10 tahun. ”Selama itu pula kami tidak bisa tidur dan selalu tegang. Keluarga kami bagai dalam neraka,” cerita Bagus, Kamis (26/8).
Ketika keluarga mulai putus asa, Bagus mencari setiap informasi mengenai perilaku aneh seperti yang ditunjukkan kakaknya. Tahun 1998, dia menemukan sebuah situs di internet mengenai skizofrenia. Dari situ, Bagus tahu kakaknya memenuhi ciri-ciri skizofrenia, yakni mengalami halusinasi, waham, dan berperilaku aneh.
Tunggal (36) bahkan baru menyadari kalau kakaknya, Dwi Putro, biasa disapa Pak Wi, menderita skizofrenia setelah 17 tahun. ”Kami hanya tahu Pak Wi dulu suka mengamuk dan keluyuran berhari-hari. Itu terjadi beberapa kali sejak tahun 1983. Kami baru tahu Pak Wi mengalami skizofrenia tahun 2000-an,” tutur Tunggal.
Karena tidak tahu, lanjut Tunggal, kedua orangtuanya salah memperlakukan Dwi. ”Orangtua saya melarang Pak Wi pergi dan mandi sambil menghambur-hamburkan air. Akibatnya, Pak Wi makin tertekan.”
Sari (36) juga ingat bagaimana keluarga besarnya kebingungan menangani Wibi (54), sepupunya, ketika sering mengamuk sejak usia 21 tahun. ”Keluarga mengira Wibi kena santet, makanya dia kami bawa ke pesantren atau orang pintar. Karena tidak ada hasilnya, baru kami bawa ke dokter. Dari situ, kami baru tahu kalau Wibi mengidap skizofrenia,” ujar Sari.
Carla R Marchira, psikater di Fakultas Kedokteran UGM dan RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, mengatakan, pemahaman soal skizofrenia di kalangan masyarakat relatif rendah. ”Kalau ada orang yang tiba-tiba berperilaku aneh, pasti disangka kena santet. Padahal, boleh jadi itu gejala gangguan jiwa,” katanya.
Selain itu, keluarga umumnya menyangkal jika salah satu anggotanya mengalami gangguan jiwa karena takut kena stigma. Akibatnya, penderita terlambat ditangani dokter. Padahal, lanjut Carla, semakin cepat ditangani, semakin besar kemungkinan penderita bisa pulih.
Menurut standar Indonesia, orang dianggap menderita skizofrenia jika selama satu bulan mengalami gejala psikotik, seperti berhalusinasi dan mengalami waham. Halusinasi adalah kekacauan persepsi panca-indera penderita. Akibatnya, telinga penderita, misalnya, mendengar bisikan-bisikan aneh yang sebenarnya tidak ada. Waham adalah kondisi ketika pikiran penderita tidak realistis. Dia, misalnya, merasa dikejar-kejar pocong atau CIA.
”Kita harus paham bahwa halusinasi dan waham itu berat. Bayangkan kalau setiap saat Anda merasa dikejar-kejar pocong, pasti Anda teriak-teriak ketakutan,” katanya.
Untuk mengatasi gejala psikotik itu, dokter biasanya memberikan obat antipsikotik. Pengobatan berlangsung lama, bahkan sebagian penderita harus minum obat sepanjang hidupnya.
Sejak mengetahui kakaknya menderita skizofrenia, Bagus tahu bagaimana menangani kakaknya. Bagus dan keluarganya meneruskan pengobatan Bayu. ”Alhamdulillah, kondisinya sekarang sudah pulih 90 persen. Dia sudah sadar apa yang terjadi pada dirinya dan rajin minum obat,” katanya.
Seiring dengan itu, lanjut Bagus, situasi tegang di keluarganya segera mencair. ”Kami sekeluarga bisa menata kembali hidup kami. Itu penting sebab selama 10 tahun kami tegang terus,” kata anak keenam dari delapan bersaudara ini.
Hal yang sama dilakukan Tunggal. Dia berusaha memperlihatkan kasih sayang dan perhatiannya kepada Pak Wi. ”Tahun 2007, kami sadar Pak Wi suka melukis karena dia suka mencoret-coret tembok tetangga. Kami pun menyediakan alat lukis, seperti kertas, kanvas, papan, spidol, dan cat minyak.”
Pak Wi pun tenggelam dalam keasyikan melukis. Dia bisa menggambar terus-menerus dari pagi sampai malam. Tidak heran, dalam setahun, dia bisa menghasilkan 1.000-an lukisan. ”Kalau dia melukis, saya selalu mengacungkan jempol dan berkata, ’bagus’,” kata Tunggal.
Sejak melukis, Pak Wi tidak pernah mengamuk atau keluyuran lagi. ”Saya senang melihat perkembangannya,” ujar Tunggal.
Clara berpendapat, keluarga memang sebaiknya memberikan aktivitas yang disenangi penderita skizofrenia. Dengan begitu, emosi penderita bisa tercurahkan pada kegiatan tersebut. Secara logis, kegiatan itu juga bisa mengalihkan halusinasi dan waham yang sering menyerang penderita skizofrenia.
”Jangan biarkan mereka sendirian, mengurung, bahkan merantai mereka. Itu membuat penderita tertekan dan stres,” katanya.