KOMPAS.com - Saat ini masih banyak masyarakat yang mengandalkan antibiotik untuk meredakan atau menyembuhkan masalah kesehatan yang mereka alami. Bahkan, sebagian orang menggunakan antibiotik tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau berlebihan ternyata bisa membahayakan kesehatan. Hal ini memicu kondisi yang disebut resistensi antimikroba (AMR) atau resistensi antibiotik, di mana bakter, virus, jamur, dan parasit tidak lagi bisa dimatikan dengan obat antibiotik.
Patogen tersebut menjadi kebal dan berisiko bermutasi atau berkembang biak di dalam tubuh manusia. Akibatnya, infeksi akan semakin sulit diobati, peningkatan risiko penyebaran penyakit, peningkatan keparahan, dan kematian.
Baca juga: Cegah Resistensi Antimikroba, Kemenkes Ajak Masyarakat Bijak Gunakan Antibiotik
Secara global pada 2019, terdapat 1,27 juta kematian disebabkan oleh resistensi antimikroba. Angka ini diprediksi akan melonjak, bahkan Badan Organisasi Dunia (WHO) memperkirakan akan ada 10 juta kematian akibat penyalahgunaan antibiotik pada tahun 2050. Artinya, resistensi antibiotik bisa menjadi pandemi baru setelah covid-19.
Dokter spesialis penyakit dalam konsultan penyakit tropik infeksi, Brigjen TNI Purn Dr. dr. Soroy Lardo, SpPD KPTI FINASIM mengatakan, resistensi antibiotik perlu dicegah dengan menguatkan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.
Dokter Soroy berpendapat bahwa posyandu dan puskesmas bisa menjadi garda terdepan bagi masyarakat dalam menerima paparan edukasi terkait penggunaan antibiotik yang tepat serta bahaya resistensi antimikroba.
"Resistensi antibiotik ini dapat dikatakan sebagai silent pandemi sehingga kasusnya bisa meningkat di masyarakat. Langkah yang bisa dilakukan untuk mendeteksi AMR yaitu menjadikan posyandu dan puskesmas itu sebagai garda terdepan," ujar Soroy dalam temu media yang diikuti Kompas Health, Kamis (28/11/2024).
Menurut Soroy, tenaga kesehatan (nakes) dan kader sebaiknya diberi pembekalan mengenai penyakit infeksi yang berisiko menjadi AMR kemudian melakukan pendataan.
Ketika pemerintah memiliki data masyarakat yang rentan terinfeksi, maka akan lebih mudah untuk diagnpsisi dini dan penanganan yang lebih cepat di rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap (lab uji resistensi antibiotik).
Baca juga: Konsumsi Antibiotik Harus sampai Tuntas, Ini Sebabnya
Dokter Soroy juga mengimbau masyarakat untuk tidak membeli antibiotik yang dijual bebas atau menggunakan obat ini tanpa resep dokter.
Ia mengatakan, konsultasi ke dokter diperlukan untuk memastikan apakah kondisi pasien terjadi akibat infeksi bakteri sehingga membutuhkan antibiotik atau bisa ditangani dengan perawatan lainnya.
Menurut Soroy, dokter yang tergabung di IDI sudah memahami kapan antibiotik digunakan. Pemahaman terhadap infeksi itu tidak hanya karena bakteri. Jadi semisal adan individu mengalami kondisi seperti demam, sebaiknya tidak buru-buru diberi antibiotik. Pasien perlu konsul ke dokter dan mungkin dilakukan pemeriksaan lanjutan demi memastikan penyebabnya, apakah karena infeksi bakteri atau bukan.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum PB IDI Dr. dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT berharap adanya kolaborasi antara dokter atau tenaga kesehatan dengan pemerintah dan masyarakat terkait edukasi dan regulasi antibiotik di Indonesia.
"Tidak hanya dokter, tapi juga menjadi fokus perhatian bagi pemerintah, masyarakat untuk memberikan edukasi dan regulasi terkait proses penggunaan antibiotik supaya tidak menjadi resistensi antimikroba," kata dr. Adib.
Adib menambahkan, kasus resistensi antimikroba yang tidak terkendali bukan tak mungkin bisa menjadi beban pembiayaan kesehatan di Indonesia sehingga diperlukan keseriusan semua pihak untuk menghadapi masalah ini.
Baca juga: Resistensi Antimikroba Bisa Sebabkan Kematian, Ahli Tekankan Pentingnya Pencegahan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.