Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rabies, Tragedi Manusia dan Hewan

Kompas.com - 25/10/2010, 03:33 WIB

Sejak itu rabies mewabah di seluruh Bali. Apalagi kasus gigitan anjing cukup tinggi karena anjing liar yang banyak. Dinas Peternakan Bali mencatat, sekitar 50.000 kejadian manusia digigit anjing. Berdasarkan data terakhir dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga 15 Oktober 2010, sebanyak 102 orang meninggal dunia karena rabies (Kompas, 16/10).

Menurut Kepala Dinas Peternakan Provinsi Bali Putu Sumantra, seperti dikutip Antara, Sabtu, kegiatan vaksinasi telah menjangkau 80,91 persen dari perkiraan populasi anjing di Bali yang berjumlah 447.966 ekor, yaitu 362.473 ekor. Eliminasi anjing liar telah menjangkau 117.315 ekor atau 23,76 persen dari seluruh populasi anjing.

Dampak ekonomi

Rabies adalah tragedi bagi kemanusiaan dan kehewanan karena korban jiwa yang diakibatkannya. Selain itu, dampak ekonomi juga sangat signifikan. Ewaldus Wera, Maria Geong, dan Maxs UE Sanam, dalam makalah di Kongres Ke-16 PDHI tersebut, memaparkan analisis ekonomi akibat rabies menggunakan model ekonomi.

Total kerugian ekonomi atas rabies di NTT tahun 1998-2007 mencapai Rp 142 miliar atau Rp 14,2 miliar per tahun. Biaya itu dihabiskan untuk biaya pengobatan pascagigitan anjing pada manusia Rp 19,9 miliar serta biaya vaksinasi dan biaya eliminasi hewan tertular sebesar Rp 122,5 miliar.

Tak hanya itu, seperti dilaporkan AFP Agustus 2010, Pemerintah Amerika Serikat dan Australia juga telah memperingatkan warganya agar berhati-hati berkunjung ke Bali karena wabah rabies tersebut.

Para dokter hewan di Bali atau mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang sebelum tahun 2008 hanya mempelajari rabies dari buku-buku, sekarang dapat mempelajari langsung penyakit ini. Dokter hewan Soeharsono, praktisi hewan kecil di Klinik Hewan Canifeli di Denpasar, Bali, bersama sejumlah rekannya, misalnya, memaparkan kasus rabies alami pada anak anjing. Selain anjing dewasa, anak anjing juga bisa menularkan rabies.

Menurut Soeharsono, gejala klinis dari rabies pada anak anjing itu memang tidak terlalu spesifik. Namun, dari pengamatan di Denpasar, kecurigaan terhadap rabies harus sudah ada apabila seekor anjing menggigit seseorang atau seekor hewan lain disertai gejala menyimpang (bersembunyi, suka menggigit meski tidak kelihatan agresif). Apabila anak anjing tersebut mempunyai sejarah pernah digigit anjing lain, hal ini akan lebih menguatkan dugaan. Untuk memantapkan diagnostik, perlu dilakukan uji antibodi fluoresen (fluorescent antibody test).

Sekarang, setelah dua tahun terjadi wabah rabies di Bali, sebuah tim gabungan tengah meneliti dari mana datangnya anjing yang menularkan rabies tersebut ke anjing di Bali. Tim gabungan tersebut terdiri atas ahli dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, serta Balai Besar Veteriner Denpasar. ”Kita tunggu hasil penelitian ini,” ujar Guru Besar Virologi FKH Universitas Udayana Prof Dr IGN Kade Mahardika.

Namun, sejumlah indikasi dikemukakan Mahardika, yaitu bahwa kecil kemungkinan anjing rabies masuk dari Pulau Lombok yang bebas rabies atau Pulau Jawa yang memiliki riwayat rabies. Kemungkinan anjing berasal dari Pulau Flores atau Pulau Sulawesi.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau