Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Obat HIV Bantuan Pemerintah

Kompas.com - 15/11/2010, 10:00 WIB

Keponakan saya yang berumur 23 tahun, lima tahun yang lalu dinyatakan terinfeksi HIV. Waktu itu dia siswa SMU kelas 3, tetapi karena sakit dia tak dapat melanjutkan sekolah. Pada waktu didiagnosis keadaannya amat parah. Berat badannya turun hampir 10 kilogram, pucat, dan batuk-batuk. Jika menelan makanan tenggorokannya sakit dan biasanya muntah. Dia juga mengalami diare berkepanjangan. Dia dirawat di rumah sakit sekitar satu bulan.

Untunglah keadaannya dapat pulih. Secara bertahap demam, batuk, dan diare hilang. Kami beruntung karena waktu itu pemerintah sudah menyediakan obat HIV gratis. Obat tersebut buatan Kimia Farma. Dia memakannya secara teratur sampai sekarang ini.

Sekarang keadaannya dapat dikatakan sudah pulih. Berat badan sudah kembali seperti sebelum sakit dan dia sudah dapat melakukan kegiatan seperti biasa. Saya menganjurkan agar dia mengambil kursus keterampilan dan dia mengikuti kursus reparasi alat pendingin. Ternyata dia berbakat dalam bidang tersebut. Sekarang dia sudah punya perusahaan dengan lima orang karyawan. Langganannya cukup banyak.

Menurut dokter, HIV-nya sudah terkendali. Kekebalannya sudah normal kembali, bahkan jumlah virus dalam darahnya sudah tak terdeteksi. Untuk ke depan masih ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan. Apakah keponakan saya ini dapat berkeluarga, apakah istrinya nanti tak akan tertular HIV. Apakah dia boleh punya anak?

Mengenai obat bantuan pemerintah ini sampai kapan kami akan mendapat gratis karena menurut dokter, obat ini perlu dikonsumsi terus-menerus. Keponakan saya ini punya adik laki-laki yang menderita hepatitis B kronik. Menurut dokter, obat untuk virus HIV juga dapat digunakan untuk hepatitis B. Mungkinkah adiknya juga mendapat obat gratis untuk hepatitis B? Mohon penjelasan dokter. Terima kasih.

P di J

Pemerintah kita memang sejak tahun 2005 sudah menyediakan obat HIV yang disubsidi penuh (cuma-cuma). Ini sejalan dengan anjuran WHO agar orang dengan HIV yang memerlukan obat ini dapat menggunakannya dengan mudah. Semula obat HIV yang digunakan di Indonesia merupakan obat impor, tetapi sejak tahun 2004 telah diproduksi sendiri oleh perusahaan pemerintah Kimia Farma.

Manfaat obat HIV yang dikenal sebagai obat antiretroviral (ARV) cukup banyak. Obat ini jika digunakan secara teratur akan dapat menurunkan angka kematian, mengurangi keperluan penderita dirawat di rumah sakit, memulihkan kekebalan tubuh yang rendah, menekan berkembangbiaknya HIV, dan tak kalah pentingnya mengurangi risiko penularan.

Mereka yang belum mendapat terapi ARV biasanya jumlah virus dalam tubuhnya tinggi sehingga berisiko menularkan pada orang lain. Penularan HIV dapat terjadi melalui penggunaan jarum suntik bersama, hubungan seksual tak aman, dan juga dari ibu hamil yang HIV positif kepada bayinya. Bila jumlah virus dapat ditekan oleh obat ini, apalagi jika virusnya tak terdeteksi, risiko penularan menjadi amat turun.

Pada kongres AIDS Asia Pasifik di Bali, Pemerintah Indonesia mengungkapkan komitmen yang kuat untuk melalukan upaya pengendalian HIV di negeri kita. Salah satu bentuk komitmen tersebut selain upaya pencegahan adalah penyediaan obat ARV melalui anggaran belanja pemerintah.

Tantangan ke depan yang akan kita hadapi adalah kebutuhan obat ARV yang kemungkinan akan meningkat karena masih banyak saudara-saudara kita yang belum menjalani tes HIV. Jika tes HIV positif dan memenuhi kriteria pengobatan, tentu akan diberikan ARV. Begitu pula ibu hamil yang HIV positif perlu mendapat ARV selain untuk dirinya, juga untuk mencegah bayinya tak tertular. Jadi, ARV selain untuk terapi juga dapat digunakan untuk pencegahan.

Saya bergembira keadaan keponakan Anda secara fisik sudah pulih. Bahkan, dia sudah dapat mandiri dengan usahanya. Amatlah wajar jika dia mulai memikirkan untuk berkeluarga dan mempunyai anak. Peluang untuk itu terbuka lebar dan yang perlu dijaga adalah agar istri dan anaknya jangan sampai tertular HIV. Untuk itu, dia dapat berkonsultasi dengan dokter yang mengobatinya.

Memang benar obat ARV, seperti lamivudin dan tenofovir, juga dapat digunakan untuk terapi hepatitis B kronik. Kita berharap Kementerian Kesehatan dapat mempertimbangkan hal ini. Karena dana yang digunakan adalah dana kita sendiri, mudah-mudahan tidaklah sulit membuat kebijakan baru untuk membantu saudara-saudara kita yang tak mampu membeli obat virus hepatitis B. Sekarang ini sekitar 300.000 orang terinfeksi HIV dan menurut perkiraan sampai tahun 2020 jumlah orang yang terinfeksi HIV di negeri kita masih akan meningkat.

Di samping komitmen dan usaha yang telah ditunjukkan oleh pemerintah pusat, kita berharap pemerintah daerah juga memiliki komitmen yang kuat. Pemerintah daerah diharapkan dapat membantu meningkatkan keberhasilan pengendalian HIV di negeri kita. Sebenarnya beberapa pemerintah daerah telah menunjukkan usaha nyata dan kita berharap pemerintah daerah lainnya juga akan menyusul.

Sampai sekarang jumlah bantuan dari luar negeri untuk pengendalian HIV di negeri kita masih tergolong tinggi. Bantuan tersebut kita perlukan dan patut kita hargai. Namun, kita perlu berusaha untuk meningkatkan kapasitas nasional kita sehingga ketergantungan pada bantuan luar secara bertahap dapat berkurang.

Banyak negara yang telah berhasil mengendalikan HIV, seperti di ASEAN, misalnya Thailand. Di samping usaha Pemerintah Thailand yang sungguh-sungguh, faktor dukungan masyarakat amatlah penting. Mudah-mudahan dalam waktu yang tak terlalu lama kita juga akan berhasil mengendalikan HIV di negeri kita.


DR Samsuridjal Djauzi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com