Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Upah Pembatik Tak Setara Hasil Karyanya

Kompas.com - 06/01/2011, 11:01 WIB

Dusun Pegandon, Desa Pegandon Kidul, Karang Dadap, Pekalongan timur, yang dulu menghasilkan banyak pembatik andal, kini juga kesulitan meregenerasi. Dusun ini hanya menyisakan pembatik yang kini sudah mulai renta. Mereka bekerja sendiri-sendiri atau berkelompok, di rumah-rumah yang sempit berlantai tanah dan umumnya tanpa pembatas ruang. Penerangan pun hanya mengandalkan cahaya matahari yang masuk melalui celah dinding atau jendela.

 

Para perempuan ini umumnya tak tahu pasti berapa usianya. Saripi, Jasnoah, Wasni, dan Wasmi, misalnya, rata-rata merasa umurnya sudah 70-an tahun. Untuk membatik, mereka mendapat modal berupa kain mori atau cairan malam dari pengepul seperti Zakiah (45). Pengepul adalah orang yang akan mengumpulkan kain-kain batik yang sudah jadi, dan menjualnya ke buyer. Namun, untuk proses melorod atau mewarnai, pembatik menyerahkannya ke pengepul dengan dikenai biaya Rp 60.000 - Rp 70.000, tergantung warnanya.

Mereka mengaku, upah mereka hanya sekitar Rp 7.000 hingga Rp 10.000 per hari. Namun ketika kami menanyakan siapa yang memberi mereka upah, tak seorang pun mampu menjawab. Cahyo menduga, angka tersebut hanya perkiraan para pembatik dari penghasilan yang mereka dapatkan dari pengepul. Jadi, jika sehelai kain batik halus sudah jadi, pengepul membelinya dengan harga sekitar Rp 300.000 (kain ini lalu dijual Zakiah seharga Rp 600.000 - Rp 1 juta).

Para pembatik ini memang hanya paham soal membatik. Mereka tidak tahu bagaimana jalur distribusi atau bisnis batik itu sendiri. Repotnya, karena sudah terikat pada pengepul, mereka juga tak bisa menjual batik langsung kepada orang yang berminat.

Karena diri sendiri dan keluarga harus dinafkahi, sementara sehelai kain baru jadi setelah sekitar tiga bulan, beberapa pembatik berusaha mencari "side job". Jasnoah, misalnya, pagi hari berjualan jajanan untuk anak-anak yang tak seberapa jumlahnya. Sore, ia baru membatik. Barangkali ini bisa disebut sisi positifnya, dimana para pembatik di sini memang tidak terikat waktu dalam bekerja.

Dengan berbagai kesulitan yang dialami pembatik tersebut, sudah sepantasnya profesi pembatik ini lebih kita hargai. Mereka, termasuk Mia yang tergolong paling muda, tidak pernah menyesal menjadi pembatik. Perempuan lulusan SMP ini bertekat untuk terus membatik. "Saya tidak menyesal meninggalkan sekolah, karena ini sudah keputusan saya sendiri. Saya ingin bisa terus berkarya, bisa meneruskan batik Pekalongan," katanya lirih.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com