Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Utang, Kurangi Makan, Bunuh Diri

Kompas.com - 07/01/2011, 04:43 WIB

Setiap hari, Suraji rata-rata berpenghasilan Rp 20.000-Rp 50.000. ”Untungnya ada pelanggan, mengantarkan anak sekolah. Lumayanlah dapat Rp 120.000 per bulan. Kadang saya juga mreman (ikut mengolah lahan pertanian dan memanen padi),” tuturnya.

Istri Suraji, Rasiyah (48), bekerja serabutan. Ia kadang ikut menjadi buruh tanam padi.

Mengonsumsi singkong

Akibat mahalnya harga beras dan sejumlah bahan pangan lainnya, sebagian masyarakat miskin di wilayah Brebes, Jateng, terpaksa makan seadanya. Sebagian warga Dukuh Banjangsari, Desa Randusanga Kulon, Kecamatan Brebes, yang mayoritas berprofesi sebagai buruh tani, buruh tambak, dan buruh nelayan, bersiasat mengurangi pengeluaran beras dengan ganti mengonsumsi singkong dan ketela.

Muryatin (50), warga setempat, mengatakan, selama ini ia dan suaminya, Wirja (60), hanya mengandalkan penghasilan anak mereka, Warsidi (18), sebagai buruh nelayan. Ia dan suaminya hanya bekerja jika ada pemilik sawah membutuhkan tenaga serabutan. Dari melaut selama 20 hari, Warsidi mendapatkan sekitar Rp 600.000. Penghasilan tersebut hanya pas-pasan untuk makan.

Kenaikan harga bahan pangan, seperti beras dan minyak goreng, sangat membebani. Saat ini, harga beras C4 kualitas standar di wilayah itu Rp 8.000 per kilogram (kg). Untuk berhemat, ia dan keluarganya juga mengonsumsi singkong dan ketela, selain mengonsumsi beras.

Wasih (60), warga Banjangsari, juga terpaksa makan seadanya. Wasih hanya mengonsumsi makanan dari bahan tepung tapioka dicampur ampas kelapa yang dibeli Rp 1.500 per bungkus dari pedagang keliling.

Berdasarkan data dari Pemerintah Desa Randusanga Kulon, Kamis, dari 137 keluarga di Banjangsari, sebanyak 132 keluarga merupakan penerima bantuan beras untuk rakyat miskin. Kepala Desa Randusanga Kulon Ahmad Zaeni mengakui, saat ini masih banyak warga di Pedukuhan Banjangsari yang miskin. Selain karena rendahnya penghasilan, hal itu juga akibat tidak adanya jalan memadai dan fasilitas listrik.

Di pesisir Jepara, nelayan kesulitan keuangan akibat cuaca buruk dan saat harga beras naik. Yasikun (40), nelayan Desa Kedungmalang, Kecamatan Kedung, Kamis di Jepara, mengatakan sudah sebulan tidak berpenghasilan.

Menurut Yasikun, untuk menghidupi keluarga, istrinya terpaksa berutang ke warung-warung dan lintah darat.

Pengamat ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Prof Dr FX Sugianto, menyebutkan, kematian enam warga akibat keracunan tiwul di Jepara sangat kontras dengan kondisi Jateng yang surplus beras, 2,9 juta ton per tahun dan memberi sumbangan 27 persen dari produksi beras nasional. Surplus produksi tersebut tidak ada artinya ketika warga kesulitan karena beras tidak tersedia. Kalaupun ada, harganya mahal.

Sugianto mengusulkan solusi jangka pendek, yakni pemerintah harus menggarap kantong kemiskinan dengan baik agar harga beras di daerah miskin tetap stabil dan terjangkau warga. Untuk jangka panjang, perlu ada pasar induk beras yang berfungsi sebagai penjaga stok sehingga harga beras tidak naik-turun akibat ulah spekulan.

(NIT/SIN/ACI/SIR/HEN/WHO/WIE/MDN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com