Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Lawan Tuberkulosis

Kompas.com - 26/03/2011, 06:23 WIB

TB-multidrug resistance (TB-MDR), yaitu kuman tuberkulosis kebal atau resisten terhadap obat isoniazid (INH) dan rifampisin.

Rifampisin dan INH adalah dua obat TB yang sangat penting dan menjadi tulang punggung dalam pengobatan TB. Keduanya bersifat bakterisida yang artinya dapat membunuh kuman. Obat yang lain bersifat bakterostatik, yang fungsinya hanya menghambat pertumbuhan kuman.

Walau TB-MDR masih relatif rendah, jumlah kasus TB-MDR di Indonesia cukup mengkhawatirkan karena jumlah pasien TB cukup besar. WHO memperkirakan, ada 6.427 kasus TB-MDR dengan hasil dahak positif atau 2 persen dari kasus tahun 2007.

Dari kasus TB dengan pengobatan ulang (re-treatment), ada 20 persen kasus dengan TB-MDR. Meski sektor swasta juga melayani TB, sampai saat ini angka penjaringan dan keberhasilan tidak tercakup dalam sistem survei Program Penanggulangan TB. Kegagalan pengobatan termasuk terputusnya pengobatan dan penyalahgunaan obat anti-TB (OAT) di RS menjadi masalah dalam TB-MDR.

Insiden resistensi obat meningkat sejak diperkenalkannya pengobatan TB pertama tahun 1943. TB-MDR muncul seiring dengan mulai digunakannya rifampisin secara luas tahun 1970-an. WHO Stop TB Department memperkirakan insiden (termasuk kasus baru dan pengobatan ulang) yang terjadi di dunia pada tahun 2003 ada 458.000.

Kasus TB-MDR terjadi karena perbuatan manusia, yaitu tenaga kesehatan yang memberikan obat tanpa penyuluhan dan pengembangan motivasi yang cukup kepada pasien sehingga pasien tidak berobat secara teratur atau tidak menyelesaikan pengobatan (putus berobat). Di sisi lain, masih ada petugas kesehatan yang tidak memberikan obat dengan tepat, baik dalam jumlah, jenis, maupun dosis.

Kenyataan di lapangan juga menunjukkan, obat ternyata tidak diberikan sesuai kriteria. Padahal, obat untuk pasien kasus baru tidak sama dengan obat untuk pasien putus berobat. Obat kasus kambuh tidak sama dengan kasus gagal pengobatan.

Adapun kesalahan pasien adalah tidak makan obat sesuai petunjuk. Yang umum terjadi adalah mereka mengurangi jumlah obat atau dosis karena ada efek samping atau menghentikan pengobatan sebelum waktunya karena merasa sudah sembuh.

Dalam upaya pemberantasan ini, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menerapkan ISTC (International Standard Tuberculosis Care). ISTC adalah program dari WHO bersama ATS (American Thoracic Society) dan organisasi dunia lain yang bergerak di bidang tuberkulosis. ISTC membantu menegakkan diagnosis TB lebih tepat dan lebih akurat sehingga pengobatan juga lebih pas.

Faisal Yunus, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau