KOMPAS.com — Setiap orang pasti ingin terlahir dalam keadaan sempurna. Namun, hal itu tak dialami oleh Teddy (35), salah seorang penderita kelainan darah hemofilia. Teddy sudah divonis menderita hemofilia sejak masih berusia delapan bulan.
Kecurigaan sebenarnya sudah ada saat masih bayi, di mana ketika tali pusarnya lepas. Teddy butuh waktu yang lebih lama untuk sembuh, tidak seperti bayi normal pada umumnya. Meski tak merasa khawatir akan penyakitnya, Teddy tahu betul bahwa dirinya harus selalu bisa menjaga diri.
Menjaga diri artinya tidak melakukan suatu hal yang bisa berakibat buruk pada tubuhnya. Pasalnya, bagi seseorang yang menderita hemofilia, tubuh akan sangat rentan sekali terhadap benturan dan luka.
"Kehidupan saya sebagai anak kecil ya normal. Waktunya main, main. Main dengan teman-teman, baik di sekolah dan di rumah. Ada kalanya penyakit saya kambuh. Kambuhnya itu seperti ada perdarahan di mata kaki. Perdarahan itu ada di bawah kulit, rasanya nyeri, jadi darah enggak keluar," jelasnya.
Bagian sendi adalah daerah yang paling rentan mengalami pendarahan. Selain di mata kaki, perdarahan sendi paling sering terjadi di lutut, siku tangan, tumit, dan pinggul. Seringnya perdarahan di mata kaki membuat langkah Teddy tidak lagi mantap dan sedikit agak pincang. Namun itu semua tidak mengurangi semangat dan kegigihannya untuk bisa terus bertahan.
Seiring waktu berjalan, teman-teman dan guru Teddy akhirnya mengetahui bahwa dirinya mendeita hemofilia. Namun tak ada perubahan sikap dan perlakuan berbeda yang diterimanya baik dari teman ataupun sekolah. "Perlakuan teman-teman saya itu pada prinsipnya sama. Enggak diskriminasi, enggak dikucilin, tetap normal," tambahnya.
Hemofilia merupakan sebuah kelainan perdarahan, di mana tubuh tidak memiliki salah satu faktor pembeku darah. Dalam buku Mayo Clinic Family Health Book disebutkan, hemofilia terdiri dari tiga jenis, yakni hemofilia A, B, dan C.
Jenis hemofilia yang lazim adalah hemofilia A (hemofilia klasik), yang disebabkan kekurangan faktor pembeku VIII. Selebihnya, jika bukan menderita hemofilia A, biasanya menderita hemofilia B (penyakit christmas), yang disebabkan kekurangan faktor pembeku IX. Sementara hemofilia C, yang lebih dikenal karena kekurangan faktor XI, jarang sekali ditemukan.
Prof Dr Moeslichan MZ SpA(K) dari Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia mengungkapkan, seseorang yang sudah terkena hemofilia harus menjalani pengobatan seumur hidup. Biaya pengobatan untuk penyakit ini memang tergolong masih mahal. Tak heran jika banyak pasien penderita hemofilia mengeluhkan biaya perawatan, termasuk Teddy, yang divonis menderita hemofilia tipe B.
Seminggu sekali, biasanya seorang pasien hemofilia akan melakukan suntik FFP (fresh frozen plasma). Suntikan FFP ini, menurut Teddy, sangat dibutuhkannya supaya dapat beraktivitas dengan normal.
"Saya ditransfusi FFP sebanyak 750 cc berupa kantong darah. Di dalamnya ada obat namanya plasma. Setiap kantong bervariasi cc nya. Ada yang 120, 200, kalau ditotal ada sekitar lima kantong," ujarnya.
Satu kantong FPP saat ini dijual dengan harga sekitar Rp 200.000 dan itu belum ditambah dengan alat-alat lainnya. Tingginya biaya pengobatan membuat Teddy berusaha mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan masyarakat dari pemerintah. Namun bukan perkara mudah untuk bisa mendapatkan fasilitas ini.
"Untuk bisa mendapatkan Gakin, saya terlebih dahulu bersosialisasi dengan dokter setelah itu mengurusnya di puskesmas. Puskesmas minta bukti kalau saya menderita hemofilia. Saya harus bawa medical record yang begitu banyak ke dokter di puskesmas," ungkap Teddy, yang mengaku sempat kesulitan saat pihak puskesmas tak percaya kalau ia menderita hemofilia.
Tidak pernah putus asa dan selalu terbuka membawa Teddy pada kesempurnaan hidup sebagai penderita hemofilia. Di tengah kekurangannya, Teddy mampu membuktikan bahwa setiap orang punya kesempatan sama dalam hal apa pun.
Saat ini, Teddy bekerja sebagai karyawan di salah satu hotel di Jakarta. Semua rekan di kantornya sudah mengetahui kalau ia menderita hemofilia. Tak jauh berbeda seperti saat di bangku sekolah, perlakuan bersahabat pun diterimanya dari rekan serta perusahaan tempat dia bekerja.
"Di lingkungan kerja, setelah saya kasih tahu bahwa saya hemofilia, mereka tetap welcome seperti normal-normal saja," tuturnya.
Menyinggung soal teman hidup, Teddy mengaku tak pernah mengalami kendala berarti. Sejak awal pertama kali pacaran, ia tak menutupi statusnya sebagai penyandang hemofilia. Kepada istri, Teddy membuka segala hal mengenai dirinya dan penyakit yang dideritanya.
"Saat itu saya kasih buku tentang hemofilia. Dia (istri) baca dan mengerti. Jadi, saya tidak usah cerita panjang lebar, dia sudah mengerti,"ujarnya.
Tiga tahun menjalani pacaran, hambatan dan sejumlah permasalahan tetap ada. Teddy mengaku hubungannya dengan sang kekasih sempat mengalami sedikit hambatan dari pihak perempuan.
"Kalau dari keluarga perempuan pernah ada statement, maksudnya apakah penyakit ini nanti menular? Apa bisa punya keturunan? Mungkin karena mereka tidak tahu," katanya.
Teddy mengatakan, awalnya dia sempat ragu dan takut kalau hubungannya tidak mendapat restu. Namun dengan sering bertemu dan banyak bicara mengenai hemofilia, orangtua dari calon istrinya pun bisa mengerti dan memahami kondisinya.
Kini, kehidupannya pun terasa lengkap. Pekerjaan dan teman hidup sudah didapatnya. Meski harus terus hidup dengan bayang-bayang penyakit yang dideritanya, Teddy tak pernah merasa kesal atau kecewa. Apa yang dialami saat ini dia anggap sebagai suatu hal biasa dan bukan sesuatu harus ditakuti atau dihindari.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.