”Guilty feelings” adalah rasa bersalah yang mendalam pada diri pribadi seseorang yang biasanya berakar pada luka batin pada masa lalu yang dihayati seseorang serta berkembang ke arah rasa kurang percaya diri, rasa hampa, dan cemas berkelanjutan.
”Ibu, saya adalah dokter umum dan berniat untuk mengambil kesempatan pendidikan spesialisasi, tapi sejak 5 tahun terakhir ini saya sering dilanda rasa salah berlanjut, cemas, dan hal ini membuat saya menderita. Saat terserang rasa salah tersebut, perasaan terasa hampa, tidak punya arti, serta tidak ada harapan. Perasaan ini terkadang hilang, terutama saat saya bekerja, setelah jam kerja habis, kembali saya dilanda kecemasan, apa yang harus saya lakukan Bu?” tanya L (29).
Hasil anamnese eksploratif: Saya anak kedua dari dua bersaudara laki-laki, dari latar belakang etnik China. Hal yang menjadi pangkal masalah saya adalah kulit saya kecoklatan, sementara itu mata saya pun tidak sipit, padahal kakak saya kulitnya berwarna kuning dengan mata sipit. Akibat lanjutnya adalah saya sering diolok-olok sebagai anak pungut dan tamu yang berkunjung ke rumah akan langsung mengomentari warna kulit saya yang kecoklatan dengan ”kok, ini hitam kulitnya”.
Rupanya kakak saya memanfaatkan kelainan warna kulit ini untuk menekan saya. Dia selalu mengolok-olok saya, memerintah, memukul, dan menjaili, dengan tiba-tiba sambil jalan dia menendang kaki saya. Saya tidak berani melawan, apalagi badannya lebih besar dari saya, kebetulan prestasi sekolah kakak saat itu pun lebih baik sehingga menambah sebutan baru bagi saya, seperti si tolol, goblok.
Kakak sering mengancam, kalau saya mengadukan perlakuan terhadap saya kepada orangtua, saya akan merasakan hukuman fisik yang lebih berat. Jadi saya tidak berani mengadukannya kepada orangtua. Setelah saya masuk SMP, saya mulai berani keluar rumah dan bermain dengan teman sebaya, baik yang sesekolah ataupun teman luar sekolah. Perilaku saya jadi nakal, bolos, pulang malam, dan nilai sekolah saya pun semakin jeblok kecuali itu, saya menjadi pengguna narkoba.
Melihat perubahan perilaku saya, kedua orangtua saya pun semakin sering marah, memaki, dan mencerca saya, mengatakan saya anak liar, tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih dlsb. Kakak seolah dapat kesempatan ikut memaki dan mencerca. Saya benci sekali sama kakak, rasanya ingin saya menghantam dirinya, tapi tidak berani.
Namun, awal kelas 2 SMA, tiba-tiba saya menyadari kesalahan saya, saya berusaha lepas dari narkoba dengan bantuan seorang pembimbing agama, yang mampu membuat saya berniat keras melepas narkoba, sambil terus memperdalam pelajaran agama dan akhirnya saya mampu menyelesaikan studi di fakultas kedokteran dengan hasil yang cukup baik.
Saat ini saya baru saja menyelesaikan tugas sebagai dokter PTT di satu kepulauan di Indonesia bagian timur. Di sana saya benar-benar nyaman, penduduk sekeliling menghargai kerja saya, dan saya merasa berhasil menjalin relasi yang baik dengan penduduk setempat. Namun, serentak kembali ke kota lahir saya, perasaan rasa bersalah, hampa, rendah diri muncul lagi dan semakin hari terasa semakin berat.”
Ibu, kakak saya yang sejak masa anak-anak menyiksa lahir dan batin saya yang dinilai lingkungan ganteng, berpenampilan benar-benar China, pintar, juara kelas, ternyata tidak mampu menyelesaikan perguruan tingginya dan sekarang menjadi pedagang kecil, sementara kehidupan keluarganya masih ditunjang oleh kedua orangtua saya, demikian L mengakhiri ceritanya.