Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asuransi untuk Sopir dan Kondektur

Kompas.com - 10/06/2011, 03:16 WIB

Mukhamad Kurniawan

Kesabaran dan ketekunan Uci Sanusi membuat 98 sopir dan kondektur bus di Purwakarta, Jawa Barat, hidup lebih tenang sejak tiga tahun lalu. Meskipun berpenghasilan tidak tetap, para pekerja informal itu mengantongi jaminan kesehatan, kecelakaan, hari tua, dan kematian. 

Mengajak sopir dan kondektur menyisihkan uang untuk iuran jaminan sosial tenaga kerja bukan perkara mudah. Selain pendapatan yang tidak menentu, mereka sering tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup, di samping faktor pendidikan, budaya, dan lingkungan awak bus yang menjadi penghambat.

Saat sepi penumpang, awak bus yang tergabung dalam Gabungan Sopir Kondektur (Gasonek) Purwakarta itu pulang tanpa hasil. Mereka bahkan harus menutup setoran kepada pemilik armada hingga Rp 200.000 per hari. Sebaliknya, saat ramai penumpang, mereka bisa mengantongi pendapatan Rp 120.000 sehari.

Pendapatan yang tidak menentu itu membuat sopir dan kondektur pada umumnya tidak mampu mengelola pendapatan. Saat mendapat hasil besar, sebagian mereka berfoya-foya dan berlaku konsumtif. Sebaliknya, saat harus nombok setoran karena sepi penumpang, mereka sibuk mencari pinjaman.

Kondisi kian parah saat mereka atau anggota keluarga sakit, mengalami kecelakaan, atau meninggal dunia. Ongkos berobat yang mencapai jutaan rupiah mencekik leher mereka. Sebagian terpaksa menggadaikan, menjual hartanya, atau meminjam uang kepada rentenir dengan bunga 30 persen.

Uci merasakan betul kesulitan itu. Sejak lulus SMA tahun 1988, dia bekerja sebagai sopir. Sempat beberapa kali pindah kota, Uci kembali ke kampung halaman dan bekerja sebagai sopir bus jurusan Terminal Ciganea, Purwakarta-Kampung Rambutan, Jakarta, tahun 1990.

Seperti puluhan sopir dan kondektur lain, Uci tak digaji dan tak terikat kontrak kerja. Mereka bermitra dengan pemilik armada dengan kewajiban membayar setoran setiap hari. Karena itu, sopir dan kondektur ikut menanggung berbagai risiko, seperti kecelakaan dan kesehatan.

Sisihkan pendapatan

Sempat mendapatkan sosialisasi mengenai tenaga kerja luar hubungan kerja dari PT Jamsostek pada 2008, Uci menyebarkan pengetahuan tentang manfaat asuransi kepada teman-temannya. Dia mengoordinasi anggota Gasonek untuk menyisihkan pendapatan harian untuk membayar iuran asuransi bulanan.

Namun, tidak semua anggota sepakat. Sebagian dari mereka menganggap penyisihan uang itu manfaatnya tidak dirasakan langsung. Apalagi, dengan empat program penjaminan yang diikuti, yakni kesehatan, kecelakaan, kematian, dan hari tua, mereka harus menyisihkan Rp 75.000 per bulan. Ini bukan jumlah kecil bagi sopir dan kondektur yang berpenghasilan rata-rata kurang dari Rp 50.000 per hari.

Uci dan pengurus Gasonek mencari terobosan untuk menyiasati kesulitan itu. Caranya, memotong Rp 20.000 dari pendapatan kotor satu armada bus per hari. Dengan kewajiban itu, iuran asuransi lebih mudah terkumpul. Dalam sehari, rata-rata armada sebanyak 15-20 bus dalam sebulan bisa mengumpulkan Rp 7 juta-Rp 9 juta.

”Sopir dan kondektur tak terbebani dengan potongan itu karena menganggapnya ongkos kerja, bukan uang pribadi yang dikurangi,” ujarnya.

Uci harus berkali-kali menjelaskan manfaat program penjaminan itu dalam pertemuan rutin Gasonek, ”Kita ini pekerja mandiri, semua tergantung usaha sendiri. Jika bukan kita sendiri, siapa yang memayungi hidup kita?” katanya.

Gasonek membayar sekitar Rp 7,5 juta per bulan kepada PT Jamsostek untuk kepesertaan 98 sopir dan kondektur. Hingga tahun ketiga ini, proses pemungutan dan pembayaran iuran dan klaim berjalan lancar.

Uci mengurus semua proses terkait program itu. Di luar waktu mengemudikan bus, ia merinci administrasi anggotanya. Ia mengurus administrasi anggota atau keluarganya yang menjalani pengobatan, rawat inap, operasi, menebus obat ke apotek, mengurus santunan kematian, dan biaya pemakaman.

Saat terjadi selisih pendapat, Uci tidak segan menengahi dan membela anggota untuk mendapatkan haknya. Pernah ada anggota yang diminta menebus obat senilai ratusan ribu rupiah di luar tanggungan asuransi. Padahal, pasien itu tak mampu dan penyakitnya bisa diobati dengan obat yang tertera dalam rujukan. Protes Uci kepada beberapa pihak terkait dikabulkan sehingga si pasien tidak perlu mengeluarkan uang pribadi.

Seluruh pengeluaran dan pemasukan uang terkait program itu dicatatnya. Agar tidak ada kecurigaan, Uci menyampaikan laporan keuangan dalam rapat rutin paguyuban. Ia menempel laporan keuangan, termasuk fotokopi kuitansi, di papan di luar Mushala Al Barokah, Terminal Ciganea, yang menjadi ”markas” sopir dan kondektur saat istirahat.

Menurut Kepala Bidang Pemasaran PT Jamsostek Cabang Purwakarta Tonny Tanamal, kiprah individu seperti Uci di Gasonek membuat program asuransi bagi pekerja informal dapat berjalan baik. Minimnya kepesertaan penjaminan sosial tenaga kerja dari sektor informal selama ini umumnya terkendala antara lain ketiadaan wadah yang dapat dipercaya dan kemampuan mereka dalam mengelola anggota.

Rasakan manfaat

Perjuangan Uci mengumpulkan dan membayarkan iuran tersebut baru didukung penuh setelah beberapa anggota merasakan manfaat program itu. Misalnya, saat salah seorang anggota paguyuban, Heri (50), menjalani rawat inap dan menjalani pengobatan penyakit jantung. Kondektur itu terbantu karena Rp 25 juta dari Rp 30 juta biaya pengobatannya ditanggung penjamin.

Paguyuban Gasonek tak hanya mampu menyertakan anggotanya dalam program penjaminan sosial. Setiap menjelang Lebaran, paguyuban juga membagi sebagian kas Rp 500.000-Rp 750.000 per anggota sebagai tunjangan hari raya (THR).

”Jika bukan kami sendiri, siapa yang mau memberi THR buat pekerja informal seperti kami ini, he-he-he,” ujarnya.

Uci melihat usaha menyertakan anggota dalam program penjaminan sosial membuat sopir lebih tenang mengemudi di jalan. Setidaknya mereka merasa tidak perlu kebut-kebutan untuk mengejar setoran, membayar utang, mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan keluarga, atau demi memenuhi kebutuhan hari raya.

Uci berangan-angan dapat membentuk koperasi simpan pinjam bagi anggotanya. Cita-cita ini tak lepas dari kesulitan yang dihadapi anggota saat membutuhkan uang, sementara rentenir berkeliaran menawarkan uang.

Masalahnya, selain keterbatasan waktu, dia menghadapi kendala sumber daya manusia untuk mengelola pembukuan dan keuangan. ”Saya yakin usaha simpan pinjam dengan bunga ringan sangat dibutuhkan anggota. Mudah-mudahan ada jalan untuk mewujudkan itu,” kata Uci.

 ***

Uci Sanusi

• Lahir: Purwakarta, 12 Juli 1970 

• Istri: Neng Sulastri (36) 

• Anak: Reza Maulana (10) 

• Pendidikan: 
- SD Bunder, Purwakarta, 1982 
- SMP 1 Purwakarta, 1985 
- SMA PGRI Purwakarta, 1988

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com