”Bila ada 50-an stasiun dan diberlakukan sistem penarifan yang berbeda, penghitungan tarif akan rumit. Maka, sistem tarif dibuat per koridor. Untuk lintas Bogor Rp 9.000; Tangerang, Bekasi, dan Serpong Rp 8.000,” kata Kepala Daop I PT Kereta Api Indonesia (KAI) Purnomo Radiq, Senin (20/6), dalam diskusi yang digelar Asosiasi Penumpang Kereta Api (Aspeka).
Radiq mengatakan, apabila harga diterapkan per relasi, akan menyulitkan pelayanan.
Sekretaris Perusahaan PT Kereta Commuter Jakarta (KCJ) Makmur Syaheran mengatakan, tarif ”jauh-dekat” sama karena ada biaya operasional minimal yang harus dibayarkan saat rangkaian kereta dijalankan.
Biaya produksi KRL AC koridor Bogor Rp 9.000 per penumpang, sedangkan koridor lain Rp 8.000. Biaya produksi itu meliputi berbagai pengeluaran, seperti listrik, perawatan kereta, dan petugas operasional. Apabila pemerintah ingin tarif lebih murah bagi rakyat, PT KAI dan PT KCJ siap membicarakan mekanisme subsidinya.
Ketika tiket elektronik diberlakukan tahun 2012, menurut Makmur, pola subsidi dibuat agar mereka yang tidak mampu dapat menikmati tarif subsidi.
Ketua Umum Aspeka Ahmad Safrudin menegaskan, pihaknya tidak kontra dengan penerapan single operation. ”Namun, siapkah operator dengan sarananya. Jumlah armada belum memadai untuk menerapkan headway antara 10-15 menit,” kata dia.
Di kesempatan terpisah, pengamat perkeretaapian Taufik Hidayat menilai pemerintah perlu ikut campur apabila merasa tarif KRL dengan pola baru ini terlampau tinggi.
”Tarif berdasarkan kilometer itu harus didukung subsidi lewat public service obligation (PSO) sehingga tarif per kilometer bisa ditekan. Namun, karena PSO tidak menjangkau commuterline, tarif KRL ditetapkan sama per koridor,” tuturnya.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana yang sering menggunakan KRL ekspres menilai, ada dua hal yang perlu dicermati dalam penerapan single operation, yaitu masalah pelayanan dan mekanisme tarif.
”Pelayanan harus prima dan perlu tarif berdasarkan zona perjalanan,” ujarnya.
Makmur mengatakan, target kapasitas angkut KRL Jabodetabek 1,2 juta penumpang per hari baru dicapai tahun 2019. Rencana awal, target dicapai tahun 2014. ”Ini keputusan bersama antara PT KAI, PT KCJ, dan pemerintah. Keputusan sudah dilaporkan ke Menko Perekonomian,” ujarnya.
Makmur menjanjikan 248 unit KRL sampai akhir tahun ini, sementara hingga akhir tahun 2019 dijanjikan 1.440 unit KRL.
Problem lain, dicontohkan Radiq, permintaan listrik di Gardu Gandaria sudah delapan bulan belum dipenuhi. Permintaan listrik di Gardu Karet untuk KRL juga sudah dua bulan belum ditanggapi sama sekali oleh PLN.
Lantaran kurangnya daya listrik, jadwal keberangkatan menjadi lebih lama. Ruas Stasiun Pasar Minggu dan Stasiun Universitas Indonesia hanya mampu menampung empat rangkaian KRL sekaligus. Padahal, di ruas ini idealnya ada sembilan rangkaian KRL.
”Jika daya listrik cukup, jadwal keberangkatan akan lebih cepat,” tutur Darmin, Kepala Stasiun Pasar Minggu.
Terkait perubahan pola perjalanan tanggal 2 Juli mendatang, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Baharudin Djafar memastikan, polisi tidak ragu menindak siapa saja yang kedapatan atau tertangkap tangan melakukan perusakan fasilitas umum.