Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menuju Mandiri di Saat Tua

Kompas.com - 07/07/2011, 09:07 WIB

Ichwan Susanto

Masa tua bahagia yang diidamkan banyak orang adalah bisa bermain dengan cucu dan mampu mengerjakan segala sesuatu secara mandiri. Pikun, pelupa, tidak bersemangat, sering bertanya hal yang sama, dan harus meminta bantuan orang lain adalah sederet momok masa tua yang tersandera penyakit demensia.

Penurunan fungsi kognitif otak bisa dihindari dengan memulai investasi kesehatan sejak masa janin, anak-anak, remaja, dan dewasa. Prof Tri Budi W Rahardjo dari Pusat Penelitian Lanjut Usia Universitas Indonesia (UI) menyatakan, apa yang terjadi pada masa tua tak dapat dipisahkan dari asupan gizi, keharmonisan keluarga, aktivitas mengasah otak/pendidikan, dan olahraga yang dijalani seseorang sejak awal kehidupannya.

Hasil penelitian UI bersama Universitas Loughborough Inggris tahun 2006-2011 menunjukkan, kaum lanjut usia (lansia), yakni mereka yang berusia 65 tahun ke atas, di Jakarta memiliki persentase demensia lebih rendah (2,2 persen) daripada warga Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, (6 persen) dan Citengah, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, (6 persen). Diduga, hal ini karena sebagian warga Jakarta berpendidikan lebih tinggi dan kehidupan lebih aktif. ”Otak orang di kota lebih distimulasi berbagai aktivitas yang merangsang untuk bekerja. Jadi cenderung tak mengalami gangguan kognitif di usia lanjut,” kata dia.

Tri Budi mengatakan bahwa penyakit demensia yang sebagian besar diidap kaum lansia sebenarnya bisa dicegah sejak dini. ”Mempersiapkan menjadi lansia yang sehat, salah satunya tidak demensia, harus dimulai dari dalam rahim. Yaitu, dengan kecukupan gizi ibu,” ujarnya. Selanjutnya, pada usia anak-anak, remaja, dan dewasa tercukupi kebutuhan gizinya, rajin berolahraga, serta memiliki kebiasaan membaca, bermain catur, atau mengisi teka-teki silang.

Menurut Tri Budi, gizi berkaitan dengan perkembangan sel otak. Olahraga menyebabkan peredaran darah lancar sehingga mampu menyalurkan zat-zat yang dibutuhkan otak. Sementara itu, bermain catur atau aktivitas yang membutuhkan daya ingat akan membantu menstimulasi otak untuk beraktivitas.

Tri Budi menekankan pentingnya keharmonisan. ”Orang depresi atau tertekan akan terpengaruh daya ingatnya dan bisa membawa ke arah demensia,” ucapnya. Kondisi tertekan atau depresi membuat orang sering melamun dan otak tak bekerja secara baik. Ini bisa membawa orang ke kondisi pseudodemensia (demensia semu).

Jumlah meningkat Menyiapkan masa tua berkualitas sangat penting. Data Komisi Nasional Lanjut Usia Indonesia yang mengutip kajian PBB 2004 dan Jepang 2002 menunjukkan, pada 2050 jumlah lansia (penduduk berusia 60 tahun ke atas) di Indonesia akan mencapai 17,4 persen. Di Jepang 35,7 persen, sedangkan di China 23,6 persen. Bisa dibayangkan kalau sejumlah warga itu menderita demensia. Dampaknya, beban hidup keluarga dan kelompok produktif di masa itu menjadi bertambah.

Kepala Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran UI Diatri Nari Lestari memaparkan, pencegahan demensia salah satunya bisa dilakukan dengan gaya hidup dan pola makan baik. Di Indonesia, demensia banyak ditemukan pada pasien dengan gangguan vaskuler (pembuluh darah), seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), kolesterol tinggi, diabetes, dan jantung.

Oleh karena itu, penderita demensia kini tak hanya terbatas orang tua. Pada usia produktif pun demensia bisa menghantui. Ia mencontohkan penderita hipertensi bisa mengalami kerusakan pembuluh darah di otak. Gilirannya akan mengurangi asupan gizi dan oksigen ke otak sehingga mengurangi fungsi kognitif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com