Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kematian Ibu Tak Hanya Terkait Isu Medis

Kompas.com - 09/07/2011, 07:03 WIB

Maria Hartiningsih

Sukmawati Haryono (34), praktis tak punya hari libur. Rabu (29/6), bidan pengelola klinik bersalin Puskesmas Camplong, Kecamatan Fatuleu, Kupang Timur, itu dijemput ke rumah warga yang membutuhkan bantuan.

Begitu melihat Sukma di pintu kamar, Holiba dibantu ibunya, Yance, duduk tampak menahan sakit. Sukma membantu Holiba memosisikan mulut bayi ke arah puting susu sang ibu yang bengkak. ”Terus dicoba, nanti pasti keluar. Sabar...,” bujuk Sukma.

Bayi Holiba lahir sehari sebelumnya dengan bantuan salah satu dari 63 dukun di wilayah Puskesmas Camplong meski puskesmas yang melayani 4.207 pasangan usia subur itu memiliki 14 bidan di 11 desa, dengan lima bidan di puskesmas induk.

”Keputusan melahirkan oleh siapa ada di tangan mamak dan keluarga besar,” ujar Trisna Luluporo, bidan Rumah Bersalin Desa Siaga di Penfui Timur, Kupang Tengah.

Holiba adalah mahasiswa semester dua sebuah universitas di Kupang yang belum menikah di gereja karena tersandung soal belis (mahar).

Praktik tradisional

Tradisi setempat ditandai dengan praktik panggang dan tatobi di rumah, bagi ibu seusai melahirkan, meski melahirkan di fasilitas kesehatan modern. ”Selama 15 tahun saya berupaya supaya praktik itu ditinggalkan, tetapi gagal,” kata Sukma.

Panggang adalah praktik tradisional menghangatkan tubuh ibu yang baru melahirkan selama sembilan hari. Tepat di bawah Holiba berbaring di kamarnya terlihat pinggan besar dengan gundukan bara arang kayu kosambi.

Di pelosok-pelosok Nusa Tenggara Timur (NTT), panggang dilakukan di rumah bulat, dengan kayu besar yang dibakar di samping tempat tidur ibu yang beralas papan. Praktik itu menjadi salah satu penyebab kesakitan bahkan kematian pada ibu dan bayi karena pneumonia, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), dan dehidrasi.

”Ditambah banyaknya tabu makanan, ibu bisa kurang gizi dan kurang darah,” tambah Sukma, ”Ibu hamil pantang makan ikan, ayam, dan kacang-kacangan. Selama 40 hari setelah melahirkan, ibu hanya makan bubur putih tanpa garam, katanya agar lukanya cepat sembuh, dan tali pusat anaknya cepat lepas.”

Tatobi adalah memandikan ibu melahirkan dengan cara mengompreskan air ramuan mendidih ke tubuh ibu yang sudah dilumuri minyak kelapa murni. ”Kalau tak benar bisa melepuh,” ujar Victoria yang akrab disapa Aci Mai (61), dukun tatobi.

Rumit

Bidan yang menyatu dengan masyarakat setempat, seperti Sukma, tak bisa diandaikan. Maria Lassa (54), dukun tak terlatih dari Desa Penfui Timur, tetap membantu proses kelahiran karena warga merasa lebih nyaman melahirkan dengan dukun meski ada tiga bidan di lima Dusun Penfui Timur.

”Saya dibentak-bentak bidan dalam kondisi kesakitan mau melahirkan dan dibiarkan terbaring di lantai teras puskesmas pembantu. Bidan merujuk ke rumah sakit karena katanya tali pusat bayi saya melilit di leher, tetapi kami tak punya ongkos ke rumah sakit,” ujar Enny Saba’at (21).

Di rumah berdinding bambu, beratap rumbia dengan lubang di sana-sini, perempuan lulusan SD itu mengungkapkan, ia melahirkan di pintu rumah. Bayinya normal. ”Baru kami panggil Ibu Maria Lassa untuk memotong ari-ari dan membersihkan semuanya,” kenang Enny.

Persoalan lain adalah tingginya tingkat kelahiran. Menurut Sukma, di Fatuleu, rata-rata keluarga punya anak empat sampai lima. ”Anak kedua saya meninggal karena busung lapar,” ujar Antoneta Toalaka (39). Ibu sembilan anak di Penfui Timur itu harus memanggul ranting kayu seberat lebih dari 15 kilogram dua kali sehari untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Isu krusial

Persoalan kesehatan ibu dan anak di NTT bukan isu kesehatan semata. Memang masalah dukun dan ketersediaan bidan berkualitas sangat penting, tetapi menjadi naif apabila akar persoalannya tidak dipahami.

NTT dikenal dengan tingkat kemiskinannya dan merupakan satu dari tiga provinsi dengan angka kematian ibu (AKI) melahirkan dan angka kematian bayi (AKB) tertinggi di Indonesia. AKI di NTT adalah 306 per 100.000 kelahiran hidup dari angka nasional 228 per 100.000 kelahiran hidup.

AKB sebesar 57 per 1.000 kelahiran hidup, dari angka nasional 31 per 1.000. Prevalensi gizi kurang dan buruk juga tertinggi di Indonesia meskipun Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2010 di Kupang menempati posisi ke-32 dari 440 kabupaten kota di Indonesia.

Padahal dari telisikan sejarah, NTT bukan wilayah miskin. Lebih dari 50 tahun lalu wilayah ini berkecukupan, baik sumber daya alam maupun manusianya. Banyak cerdik cendikia berasal dari wilayah itu. NTT pernah menjadi tolok ukur kemajuan pendidikan di Indonesia bagian timur.

Menurut Romo Leo Mali dari Keuskupan Agung Kupang, NTT semakin mundur akibat hegemoni berlapis terhadap kehidupan rakyat, mulai dari penjajah asing, pemerintah pusat, elite lokal dan pemerintah daerah, sampai pemodal asing maupun lokal. Terjadi pelemahan posisi rakyat dan pembodohan. Peran gereja cukup lama terdomestifikasi di wilayah kesalehan individual.

Busung lapar, bayi yang meninggal sebelum usia lima tahun, dan para ibu yang meninggal saat melahirkan adalah puncak dari gunung es persoalan, yang bermuara pada kemiskinan dan pemiskinan dalam arti luas. Itulah teror menuju pembusukan suatu peradaban setelah porak perandanya sumber daya alam akibat eksploitasi tambang yang menghancurkan cadangan air bersih dan menciptakan persoalan serius mengenai sanitasi.

Sementara data Pusat Informasi dan Advokasi Rakyat (Piar) mencatat, 2.031 pelaku korupsi di NTT dalam lima tahun terakhir dengan kerugian uang rakyat sekitar Rp 1,3 triliun. Seluruh persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari isu kesejahteraan, khususnya kesehatan ibu dan anak di NTT.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com