Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komunikasi Pasien-Dokter Bisa Picu Stres

Kompas.com - 26/08/2011, 09:54 WIB

KOMPAS.com - Saat menuliskan tulisan ini saya sedang berada di Seoul, Korea Selatan dalam rangka mengikuti kongres International College of Psychosomatic Medicine. Acara yang berlangsung mulai hari ini sampai minggu ini sangat berguna bagi kepentingan penambahan ilmu di bidang psikosomatik dan tentunya juga untuk melihat perkembangan psikosomatik medis di negara lain.

Tadi pagi saya mendengar kuliah yang menarik yang berjudul Communication and Emotion Regulation : Psychophysiology of Doctor-Patient Relationship oleh Prof.Arnstein Finset dari Norwegia. Beliau mengatakan pada kuliahnya bawah komunikasi antara dokter dengan pasiennya bisa mempunyai dampak yang berbeda-beda.

Dalam prakteknya sebenarnya, diharapkan bahwa komunikasi pasien dengan dokter akan menghasilkan suatu perbaikan dan sumber informasi buat pasien. Namun sayangnya sering tanpa disadari, komunikasi dokter dengan pasien bisa menjadi stresor atau pencetus stres bagi pasiennya.

Hal ini disebabkan karena pasien merasa apa yang diucapkan oleh dokternya merupakan suatu hal yang sifatnya tidak nyaman bagi diri pasien. Atau seringkali pasien merasa apa yang diungkapkannya tidak diterima baik oleh dokter, sering dianggap sepele dan tidak bersikap empatik dalam mendengarkan. Ada juga keterkaitan dari sikap dan bahasa tubuh dokter saat melakukan komunikasi dengan pasien.

Begitu juga dengan bagaimana cara untuk mengeluarkan emosi atau perasaan yang terpendam. Dijelaskan secara gamblang bahwa tidak mudah bagi dokter menjadi “terapis” untuk pasiennya. Begitu juga pasien dan dokter sendiri harus menyadari bahwa pengeluaran emosi yang tidak tepat malah akan memperburuk kondisi psikologis pasien.

Hal ini belum lagi jika si dokter ternyata tidak mempunyai latar belakang pendidikan di bidang ilmu perilaku dan kognitif, sehingga melakukan komunikasi untuk mengeluarkan emosi pasien tanpa dasar ilmu yang kuat. Sering kita melihat banyak praktisi yang bukan seorang ahli di bidang kesehatan jiwa ataupun di bidang ilmu perilaku merasa mampu untuk memberikan terapi untuk pasien-pasien.

Dasar ilmu yang tidak ada atau minim tidak akan cukup untuk menjalani peran sebagai seorang terapis. Dalam proses komunikasi pasien ke terapisnya bukanlah hanya mengungkit semua masalah, namun kemudian membiarkannya begitu saja. Perlu suatu pemahamanan yang baik tentang bagaimana menangani itu semua, bukan hanya membiarkannya keluar dan membiarkannya berantakan begitu saja. Emosi yang telah dikeluarkan namun tidak tertangani dengan baik akan sangat berbahaya buat pasiennya sendiri.

Untuk itulah, ditekankan oleh pembicara bahwa untuk menjadi seorang dokter ataupun terapis diperlukan suatu kemampuan komunikasi empati yang baik yang akan membantu pasien dan bukan malah membuatnya semakin menderita. Salam Sehat Jiwa!

Dr.Andri,SpKJ, Psikiater Keminatan Psikosomatik Medis

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com