Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bahaya Generasi Manja!

Kompas.com - 20/12/2011, 02:24 WIB

Dwi As Setianingsih

Saat ini jamak ditemui mahasiswa yang berangkat dan pulang dari kampus selalu diantar jemput mobil pribadi. Mereka ada yang diantar jemput oleh sopir keluarga atau bahkan oleh orangtua.

Para penjemput setia menunggu hingga jam perkuliahan usai atau ketika ada kegiatan kampus yang menyita waktu hingga sore atau malam hari. Menunggu kadang dilakukan di dalam mobil, di area parkir, hingga nongkrong di kantin sekadar untuk membunuh waktu.

Bagi golongan mahasiswa yang terbiasa dimanja dengan fasilitas orangtua, punya ”sopir” yang selalu sigap menemani dan menunggui apa pun aktivitas merek jelas menyenangkan. Setelah lelah beraktivitas di kampus, mereka tidak perlu susah payah mencari kendaraan umum untuk pulang. Enak dan nyaman sehingga ”tudingan” tak mandiri pun dikesampingkan.

Indira, mahasiswi Desain Komunikasi Visual, Universitas Bina Nusantara, Jakarta, tertawa panjang saat ditanya apakah dirinya termasuk generasi mahasiswa manja. Pasalnya, sejak duduk di bangku SMA, Indira kerap diantar jemput oleh ibunya hingga kini duduk di bangku kuliah.

”Sebenarnya itu sesekali saja kalau memang kebetulan bisa lebih praktis dan irit ongkos. Kalau diantar jemput, ya di-saranin ibu dijemput saja kalau jamnya sama dengan ibu. Toh juga lebih aman. Tapi kalau pas bentrok dan enggak bisa bareng ibu dari kantor, ya pakai kendaraan umum, ” ungkapnya.

Indira menolak mentah-mentah disebut sebagai mahasiswi manja hanya karena kerap diantar jemput ibunya.

Tia, mahasiswi di kampus yang sama dengan Indira, punya pengalaman yang sedikit berbeda. Setiap hari dari rumahnya di Cibubur Tia diantar dan dijemput oleh sopir keluarga. Tidak hanya aktivitas di kampus, bahkan ketika jalan-jalan, belanja, atau sekadar menghadiri acara dengan teman-temannya, sang sopir selalu setia menemani. Tak pernah sekalipun Tia menjajal kendaraan umum, termasuk taksi.

Awalnya Tia merasa seperti selalu dimata-matai oleh orangtuanya. Namun, lambat laun Tia justru menikmati fasilitas itu. Malahan dia merasa kesulitan bila tak ada sopir dan memilih berdiam diri di rumah. ”Habis bagaimana, Jakarta kan luas. Saya takut kalau harus ke mana-mana sendiri,” ujarnya.

Dia kerap sedih karena geraknya jadi terbatas. Pergaulannya dengan teman-teman sekampus ataupun teman-teman SMA kerap hanya dilakukan melalui telepon seluler. ”Saya jadi merasa tidak maksimal,” keluh Tia.

Tommy, mahasiswa sebuah universitas negeri di Yogyakarta, mengatakan, mahasiswa sebaiknya menghindari sikap manja dan selalu tergantung orangtua. ”Mahasiswa semestinya sudah tidak lagi egois memikirkan diri sendiri. Harus mulai memikirkan orang lain. Syukur-syukur bisa bermanfaat bagi orang lain,” ujar Tommy yang merintis usaha pakaian di Yogyakarta dan mempekerjakan beberapa karyawan.

Dia berharap, mahasiswa yang hingga kini masih terlena menikmati fasilitas dari orangtua dengan membabi buta segera sadar dan membenahi diri agar hal itu tidak menjadi bumerang bagi diri mereka. ”Kan kalau malah menimbulkan masalah, itu malah akan merugikan diri sendiri,” ujarnya.

Gangguan konsep diri

Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang, Sambodo Sriadi Pinilih, menuturkan, ciri-ciri remaja normal, antara lain, mampu menilai diri secara obyektif, baik kekurangan maupun kelebihannya; aktif mengikuti kegiatan rutin, seperti seni, olahraga, dan pengajian; serta bertanggung jawab dan mampu mengambil keputusan tanpa tergantung orangtua.

”Lebih dari itu, dia juga mampu menemukan identitas diri, mempunyai tujuan dan cita-cita masa depan, dan tidak antisosial. Selain itu, dia juga tidak menuntut orangtua secara paksa untuk memenuhi keinginannya secara berlebihan dan negatif,” ujar Sambodo.

Jadi, untuk menilai apakah remaja tersebut sehat, berisiko mengalami masalah kesehatan, atau justru mengalami gangguan kesehatan yang meliputi aspek biologis atau fisik serta psikologis atau mental dan sosial kulturalnya, ciri-ciri di atas menjadi pedoman.

Terkait dengan remaja yang hingga duduk di bangku kuliah masih kerap menikmati fasilitas orangtua, seperti selalu diantar jemput, Sambodo mengatakan, hal seperti itu bukan masalah jika beranggapan dengan diantar jemput menjadi lebih praktis dan efisien secara materi dan waktu.

”Yang jadi masalah adalah ketika dia tidak diantar dan dijemput, kemudian dia tidak bisa apa-apa, cemas, bete, bingung mencari pemecahan masalah,” ujar Sambodo.

Ketergantungan semacam itu, kata Sambodo, bisa berasal dari kedua belah pihak, yaitu mahasiswa bersangkutan atau pihak orangtua. ”Bisa jadi remajanya yang sehat, tetapi karena lingkungan rumah atau orangtuatunya terlalu cemas dan terlalu protektif. Ini bisa jadi penyebab remaja ikut-ikutan bermasalah,” tambahnya.

Agar terhindar dari persoalan semacam itu, mahasiswa sebaiknya kembali ke inti fokus tugas perkembangan sesuai usianya, yaitu identity versus deffusion di mana tugasnya adalah mampu mencapai identitas diri meliputi tujuan pribadi, keunikan, dan ciri khas diri. ”Bila hal itu tidak tercapai, remaja akan mengalami kebingungan peran yang berdampak pada rapuhnya kepribadian. Akibatnya, akan terjadi gangguan konsep diri,” katanya.

Hal ini selain berdampak pada dirinya sendiri, juga berdampak pada lingkungannya. ”Bagi dirinya sendiri, dia menjadi tidak percaya diri. Orang yang tidak percaya diri biasanya mudah cemas, sangat tergantung dengan orang lain atau bantuan orang lain, cengeng atau tidak tahan menghadapi tantangan. Misalnya, ujian di kampus dan tugas kampus. Karena tidak percaya diri, dia menjadi merasa harga dirinya rendah, minder, merasa tidak mempunyai kelebihan sehingga tidak mampu melakukan sesuatu atau tidak berprestasi,” katanya.

Bagi orang lain dan lingkungannya, remaja yang tidak mandiri akan menjadi beban bagi temantemannya atau orang lain. ”Ibaratnya sering merepotkan, apa-apa minta bantuan, diberi tugas sederhana tidak beres. Bisa karena tidak bisa atau juga karena tidak percaya diri,” tuturSambodo.

Perlu komunikasi

Untuk itu, tambah Sambodo, diperlukan komunikasi antara kedua belah pihak, apa yang menjadi keinginan anak dan apa keinginan orangtua. ”Kita tidak bisa menyalahkan juga orangtua yang mencemaskan pengawasan dan perilaku remaja sekarang. Tapi orangtua juga perlu tahu bahwa mereka tidak bisa membandingkan kehidupannya dahulu dan sekarang dengan kehidupan anaknya yang sekarang dan untuk masa depannya,” tambahnya.

Meski demikian, komunikasi juga bukan hal mudah. Remaja perlu latihan cara berkomunikasi yang baik dan benar, sementara orangtua juga perlu latihan. Dengan demikian, terhindar dari terjadinya kesenjangan generasi. ”Kedua belah pihak perlu saling membuktikan. Yang satu menunjukkan rasa percaya, yang remaja menunjukkan bahwa dia bisa dipercaya,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com