Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bila Tubuh Kurang Testosteron

Kompas.com - 05/07/2012, 08:58 WIB

Pada bayi laki-laki, hipogonadisme dapat terjadi bilamana saat lahir salah satu atau kedua testis tidak turun ke skrotum, tetapi masih ada di rongga perut. Suhu tubuh yang lebih panas dari suhu di skrotum akan merusak testis. Karena itu, penting bagi orangtua memeriksa apakah testis anaknya sudah pada tempatnya ketika lahir.

Hipogonadisme dapat dijumpai pada bayi, masa pubertas, dewasa, dan lanjut usia. Oleh karena itu, manifestasi klinisnya berbeda-beda sesuai usia.

Apabila hipogonadisme terjadi dalam kandungan akan mengganggu proses pembentukan organ reproduksi bayi sehingga terjadi ambiguitas alat reproduksi. Jika terjadi pada masa pubertas akan mengganggu perkembangan tanda-tanda seksual sekunder. Hal itu misalnya penis kecil, otot lemas, suara seperti anak kecil, dan tidak tumbuh rambut di beberapa bagian tubuh.

Hipogonadisme pada orang dewasa, secara umum, di antaranya ditandai berkurangnya libido, terganggunya perkembangan organ reproduksi dan produksi sperma, serta disfungsi ereksi. Kepadatan tulang dan otot menurun, rambut tidak tumbuh di beberapa bagian, serta suara seperti anak kecil.

Memang, semakin tua seorang pria, produksi testosteron kian menurun. Namun, pada orang lanjut usia dengan hipogonadisme, penurunan itu berlangsung lebih cepat daripada biasanya. ”Gejala-gejala yang dialami orang yang mengalami hipogonadisme akan menyebabkan kualitas fisik dan mental menurun,” tutur Yunir.

Disfungsi ereksi

Salah satu gejala klinis hipogonadisme yang muncul pada orang dewasa adalah disfungsi ereksi. Tetapi, Yunir mengingatkan, disfungsi ereksi tak melulu disebabkan kekurangan hormon testosteron.

”Hipogonadisme bukanlah satu-satunya penyebab disfungsi ereksi. Pada orang normal mungkin iya, tetapi pada orang dengan penyakit tertentu, misalnya, diabetes, harus benar dipastikan apakah hipogonadisme atau diabetesnya yang menyebabkan disfungsi ereksi,” ujarnya.

Dokter spesialis pada Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI RS Cipto Mangunkusumo Suharko Soebardi menambahkan, beberapa penyakit berpengaruh besar pada terjadinya disfungsi ereksi. Hal itu di antaranya diabetes (64 persen), hipertensi (52 persen), dan depresi (90 persen).

Yunir menambahkan, pemeriksaan testosteron, termasuk TSH dan LH, harus dilakukan untuk memastikan apakah seseorang mengalami hipogonadisme atau tidak. Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan level testosteron di atas 350 ng/dl, maka tak perlu terapi. Namun, bila hasil pemeriksaan testosteron kurang dari 230 ng/dl, diperlukan terapi pengganti testosteron.

Pemberian testosteron pengganti (bisa obat minum, suntik, implant, atau gel) dilakukan untuk waktu tertentu sampai produksi testosteron dalam tubuh normal kembali.

Meski demikian, Yunir mengingatkan, pemberian testosteron pengganti jangan hanya dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan level testosteron. Perlu diamati juga adanya gejala khas akibat rendahnya testosteron.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com