Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/08/2012, 07:54 WIB

Oleh AGNES ARISTIARINI

Konferensi AIDS XIX baru saja berakhir di Washington DC, Amerika Serikat. Meski gaungnya kurang disebarluaskan media massa di Indonesia, inilah konferensi paling optimistis sejak konferensi AIDS pertama kali diselenggarakan tahun 1985 di Atlanta, AS.

Dihadiri lebih dari 21.000 anggota delegasi lebih dari 195 negara, optimisme memang mewarnai dari awal sampai akhir konferensi. Di sini muncul titik terang untuk mengatasi HIV/AIDS, sejak pertama kali kasus ditemukan 30 tahun lalu.

Pengobatan menggunakan kombinasi obat anti-HIV, yang disebut antiretroviral (ARV), terbukti tidak hanya menurunkan angka kesakitan dan kematian, tetapi juga membuat banyak orang yang terinfeksi HIV tetap sehat, kualitas hidup membaik, dan terutama menurunkan penularan secara signifikan.

”Pengobatan dini mampu menekan penularan hingga 96 persen. Di Indonesia, mereka yang terinfeksi HIV dan meminum ARV, yang disediakan gratis oleh pemerintah, tetap produktif hingga 10 tahun. Bahkan, ada yang sudah 18 tahun,” kata Zubairi Djoerban, guru besar penyakit dalam, hematologi, dan onkologi medis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga Ketua Masyarakat Peduli AIDS Indonesia.

Bersama atasi AIDS

Jutaan orang memang telah diselamatkan sehingga harapan akan hadirnya generasi baru yang bebas HIV bisa terwujud. Tidaklah mengherankan bila Badan PBB untuk Masalah AIDS (UNAIDS) pada akhir konferensi yang berlangsung 22-27 Juli itu juga percaya diri mengeluarkan buku yang berjudul Together We Will End AIDS.

Buku tersebut melaporkan, 8 juta orang dapat mengakses pengobatan dengan ARV, terutama di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Jumlah ini naik dari 1,4 juta orang pada tahun 2010.

Di AS, angka kematian turun hingga dua pertiga setiap tahun. Bahkan, menurut Dr Mohammad Akhter, Direktur Departemen Kesehatan DC, AS, sejak 2009 tidak ada satu bayi pun yang tertular HIV di Distrik Columbia. Demikian pula halnya di Washington DC, angka infeksi HIV pada mereka yang menyalahgunakan obat dengan jarum suntik menurun hingga 70 persen sejak 2007.

Buku yang sama juga mencatat kemajuan besar dalam upaya menurunkan penularan HIV pada anak-anak. Sejak 2009, infeksi baru pada anak-anak menurun hingga 24 persen sehingga pada 2011 ”hanya” terjadi 330.000 kasus infeksi baru pada anak-anak di seluruh dunia. Jumlah ini hampir setengah dari jumlah infeksi baru pada anak-anak saat pandemi AIDS mencapai puncaknya tahun 2003, yaitu 570.000 kasus.

Menurut UNAIDS, berkat kemajuan pengobatan serta sosialisasi hidup sehat dan bertanggung jawab, orang yang hidup dengan HIV/AIDS pada 2011 ”tinggal” 34,2 juta. Jumlah ini akan jauh lebih besar bila tidak terjadi penurunan penularan hampir 20 persen selama 10 tahun terakhir. Ramalan para ahli sembilan tahun lalu bahwa gelombang kedua wabah AIDS akan menyapu kawasan Asia Pasifik juga tidak terjadi.

Karena itu, masa depan yang lebih baik sudah di depan mata. ”Saya percaya bahwa bersama kita bisa mengakhiri pandemi AIDS. Pertanyaannya kemudian adalah kapan?” kata Michel Sidibe, Direktur Eksekutif UNAIDS.

Bagaimana dengan Indonesia?

Menurun signifikan

Menurut Zubairi, yang juga hadir di Washington DC, kondisi di Indonesia seiring dengan terangnya kondisi dunia. Penelitian di sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat juga menunjukkan keberhasilan pengobatan ARV: 77,2 persen orang dengan HIV/AIDS yang minum ARV menunjukkan peningkatan CD4 hingga di atas 200. CD4 adalah penanda di permukaan sel darah putih manusia dan menjadi indikator fungsi kekebalan tubuh.

Zubairi juga menyebutkan bahwa pada 88,7 persen orang dengan HIV/AIDS, kadar virus HIV dalam darahnya tidak terdeteksi lagi. ”Sedangkan yang memiliki kualitas hidup dan kondisi psikologis baik masing-masing lebih dari 70 persen,” katanya.

Jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan 300.000 orang. Namun, masih kurang dari 30.000 orang yang mendapatkan pengobatan ARV. ”Dengan demikian, masih ada jurang yang amat besar antara estimasi dan kasus yang teridentifikasi,” kata Zubairi menambahkan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah segera melakukan tes HIV/AIDS pada 5 juta-20 juta rakyat Indonesia. Hal ini menjadi amat penting karena tes HIV berkorelasi signifikan dengan penurunan angka penularan.

Botswana, misalnya, yang sejak delapan tahun lalu memberlakukan kebijakan tes HIV rutin pada 1,5 juta penduduknya, berhasil menurunkan angka kematian dan penularan secara drastis. Afrika Selatan pada 2011 juga melakukan tes pada 15 juta penduduknya (dari total 50 juta) dan China pada 80 juta penduduknya.

Dampak tes

Hasil tes di Indonesia akan sangat membantu mengurangi penularan secara seksual, penularan lewat jarum suntik, dan terutama membuka akses terhadap pengobatan ARV. Hal ini didukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang dengan HIV/AIDS yang minum ARV nyaris tidak menularkan HIV dan mencegah infeksi baru hingga 96 persen. Dengan demikian, anak-anak sebagai generasi masa depan bisa diselamatkan.

Apa boleh buat, untuk memperluas cakupan tes HIV ini diperlukan kemauan politik, kepemimpinan, dan terutama konsistensi dalam upaya eradikasi HIV/AIDS. Indonesia juga perlu lebih berkomitmen lagi untuk melakukan pendekatan pencegahan melalui kesetaraan jender dan pemberdayaan komunitas.

”Kehadiran negara diperlukan agar pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual diberikan kepada semua orang sehingga terhindar dari risiko penularan dan kematian,” kata Zubairi.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com