Ada dua prinsip yang terus dilupakan dalam komersialisasi produk transgenik. Kedua prinsip itu diadopsi di Rio de Janeiro pada KTT Bumi tahun 1992, yakni Prinsip Kehati-hatian dan Partisipasi Publik. Keduanya menjadi semangat aturan internasional tentang keamanan hayati produk transgenik yang dikenal sebagai Protokol Cartagena.
Bunyi dari prinsip 15 Rio itu adalah, ”Dalam upaya melindungi lingkungan pendekatan kehati-hatian dapat diterapkan secara luas oleh negara sesuai dengan kapasitasnya. Ketika terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tidak dapat dipulihkan, ketidakcukupan kepastian ilmiah tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda tindakan pencegahan perusakan lingkungan”. Prinsip ini memosisikan kedaulatan ada pada negara untuk mengatakan menerima atau menolak produk transgenik.
Dengan potensi risiko yang harus ditanggung oleh masyarakat dan lingkungan, keputusan yang paling murni adalah melibatkan masyarakat secara penuh, mulai dari perencanaan sampai pengawasan. Partisipasi publik adalah prinsip yang tidak bisa ditawar dalam komersialisasi produk rekayasa genetika.
September ini Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG) menyatakan jagung RR dan Bt lolos kajian keamanan pakan. Komisi memutuskan aman pakan setelah tim teknis melakukan pengkajian dokumen yang disertakan oleh perusahaan. Dengan demikian, produk tersebut tinggal menunggu uji keamanan lingkungan sebelum dipasarkan ke petani seluruh Indonesia.
Keberatan atas lolosnya jagung transgenik RR dan Bt adalah proses pengkajian yang hanya berdasarkan dokumen dari pengusul. Keputusan ini sangat dangkal, melanggar prinsip kehati-hatian, dan tidak ada ruang partisipasi publik. Secara logika sederhana, sangatlah aneh menerima dan memercayai begitu saja suatu dokumen dari pihak yang berkepentingan. Bias distorsi dan korupsi informasi menjadi sangat mungkin.
Namun, yang paling memprihatinkan adalah tak adanya partisipasi publik. Keputusan KKH PRG, yang disampaikan melalui situs di internet, seolah-olah sudah memenuhi syarat partisipasi (token participation), padahal luput dari perhatian publik.
Publikasi hasil uji Profesor Seralini yang sudah diterbitkan jurnal Food and Chemical Toxicology 2012, mengingatkan kita semua untuk menaati kembali prinsip kehati-hatian dan partisipasi publik.
Penelitian yang berlangsung sepanjang daur hidup mencit tersebut menunjukkan bahwa 50 persen mencit jantan dan 70 persen betina mati lebih cepat dibandingkan kontrol. Seperti disebutkan sebelumnya, 50-80 persen mencit betina menderita tumor payudara, bahkan mencapai tiga tumor per ekor.
Penelitian ini sebenarnya merupakan lanjutan dari hasil kajian Seralini dan kawan-kawan tahun 2009 terhadap laporan Monsanto yang digunakan sebagai rujukan kajian aman pakan dan pangan. Seralini mendapatkan dokumen Monsanto lewat gugatan di pengadilan.