Oleh : NAWA TUNGGAL
Trenggiling (Manis javanica) kerap diselundupkan ke luar negeri seperti China. Ternyata, trenggiling berpotensi menjadi bahan baku obat dengan kandungan omega-3 dalam EPA dan DHA yang mengurangi risiko kanker, menurunkan peradangan, hipertensi, artritis, serta menjaga fungsi otak.
Para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menuangkan penelitian mereka dalam buku "Bioresources untuk Pembangunan Hijau" tahun 2013.
Salah satunya tentang manfaat trenggiling. Sisik hewan itu mengandung tramadol HCL, zat aktif yang bersifat analgesik (mengatasi nyeri). Tramadol HCL juga terdapat pada psikotropika sabu.
Selama ini sebagian masyarakat meyakini, sisik trenggiling bisa menyembuhkan demam, penyakit kulit, dan penyakit kelamin. Mengonsumsi dagingnya pun diyakini berkhasiat afrodisiak (meningkatkan libido).
”Industri dalam negeri belum mampu meraih peluang menjadikan kekayaan hayati menjadi bahan baku obat,” kata peneliti utama biologi LIPI, Endang Sukara.
Contoh lain adalah jamur yang tumbuh di sekitar kandang sapi yang dikenal sebagai magic mushroom. Menurut peneliti LIPI, jamur ini berpotensi menjadi bahan baku obat antidepresi. Zat aktif antidepresan yang terkandung dalam jamur ini adalah psilocybin dan psilocin. Senyawa kimia itu juga digunakan untuk menurunkan kecemasan penderita kanker, selain mengurangi rasa sakit.
Bahan antibiotik
Impor bahan baku obat Indonesia didominasi bahan baku obat antibiotik. Padahal, bahan baku antibiotik melimpah di Indonesia. Alam kita kaya akan mikroorganisme aktinomisetes yang digunakan untuk dua per tiga produksi antibiotik di dunia. Saat ini LIPI punya 3.500 isolat murni aktinomisetes.
LIPI juga mengoleksi 200 isolat jamur endofit. Di antaranya Diaporthe sp yang berasosiasi dengan tumbuhan gambir (Uncaria gambier). Jamur itu mengandung epitoskirin A yang memiliki sifat antibiotik.
Binatang amfibi seperti katak juga memiliki kandungan bioaktif. Sekresi kulit katak cakar afrika mengandung peptida sebagai bahan antibiotik.
Ekstraksi kulit katak juga mengandung alkaloid yang dapat digunakan sebagai pengganti morfin untuk menghilangkan nyeri. Selain itu, ekstraksi kulit katak juga mengandung zat yang mampu mengaktifkan kelenjar pankreas yang dapat digunakan sebagai obat antidiabetes untuk menstimulasi insulin.
Manfaat jenis amfibi lain seperti salamander juga diteliti. Hewan yang mampu meregenerasi sel sangat cepat itu mengandung zat aktif potensial untuk penyembuhan luka secara cepat.
Beberapa jenis laba-laba (Arachnida) juga diteliti. Ternyata, laba-laba memiliki potensi sebagai bahan baku obat untuk mengatasi perdarahan. Secara empiris, masyarakat telah lama menggunakan kantong telur dan jaring laba-laba untuk menghentikan perdarahan.
Perlu ahli identifikasi
Deputi LIPI Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Siti Nuramalijati Prijono mengatakan, kini masih dibutuhkan keahlian khusus untuk mengidentifikasi kekayaan hayati yang berpotensi memiliki kandungan zat aktif untuk bahan baku obat. Industri farmasi juga perlu dirangsang untuk melakukan riset dan pengembangan.
Sebagaimana keanekaragaman tanaman berbunga, Indonesia juga memiliki kekayaan jenis lebah. Secara tradisional, bisa (venom) lebah digunakan antara lain untuk terapi rematik, artritis, sakit pinggang, dan sakit kulit.
Cairan bisa lebah ternyata mengandung apamin, melitin, fosfolipase, dan hyaluronidase yang mampu menekan sistem saraf, menstimulasi hati dan kelenjar adrenal.
Venom juga mengandung enzim fosfolipase A dan asam amino kaya sulfur metionin dan sistein. Sulfur merupakan elemen utama dalam pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal untuk melindungi tubuh dari infeksi.
Bioaktif dari beragam jenis lebah perlu diidentifikasi lebih lanjut. Ini mengingat banyaknya jenis lebah di Indonesia.
Berbagai jenis cacing juga memiliki manfaat sebagai bahan baku obat. Cacing tanah Helodrilus caliginosus, Helodrilus foetidus, Lumbricus terrestris, dan Lumbricus rubellus berkadar protein tinggi, 64-76 persen. Ekstrak jenis-jenis cacing ini bisa digunakan untuk mengobati tifus.
Ular di Indonesia ada setidaknya 347 jenis. Secara tradisional masyarakat memanfaatkan ekstrak ular weling (Bungarus candidus) untuk menurunkan tekanan darah. Hasil penelitian menunjukkan, tulang ular weling menyebabkan kalsium bersifat asam.
Setelah mengonsumsi daging ular, darah bersifat alkali lemah. Darah yang ”kotor” akan menjadi bersih sehingga aliran darah lancar.
Masih banyak manfaat kekayaan hayati yang bisa ditemukan lewat penelitian. Tantangannya adalah apakah hasil penelitian itu bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh dunia industri. Hal ini kembali pada komitmen pemerintah, kebijakan apa yang dibuat untuk mendorong penelitian dan produksi bahan baku obat berbasis kekayaan hayati kita tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.