Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Program KJS Dievaluasi

Kompas.com - 21/05/2013, 03:17 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengevaluasi sistem pembayaran program Kartu Jakarta Sehat. Pemprov DKI membuka kemungkinan menaikkan nilai premi asuransi sehingga bisa mendongkrak tarif pelayanan.

Proses evaluasi menjadi langkah awal membuka transparansi manajemen rumah sakit. ”Ini sebuah evaluasi yang baik. Kalau tidak cukup, kami akan minta nilainya dinaikkan. Kalau tidak dinaikkan, (layanan) tidak mungkin jalan,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Senin (20/5), di Jakarta.

Menurut Basuki, sejak awal program KJS digulirkan, Pemprov DKI mengalokasikan anggaran premi asuransi Rp 50.000 per orang per bulan. Namun, karena Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mematok Rp 23.000 per orang per bulan, Pemprov DKI memakai acuan itu.

Pihaknya sudah menduga ada keberatan dari pihak rumah sakit. Namun, sebelum itu terjadi, Pemprov DKI meminta rumah sakit menguji coba besaran tarif itu, lalu mengevaluasinya secara tertulis untuk mengetahui secara persis di mana saja uang itu keluar. Dengan demikian bisa diketahui apakah rumah sakit boros atau rugi dengan sistem itu.

Dasar hitungan

Ahli pelayanan kesehatan dari Universitas Indonesia, Hasbullah Tabrany, mengatakan, nilai INA-CBGs (sistem pembayaran kepada pemberi pelayanan kesehatan yang dikelompokkan berdasarkan ciri klinis dan pemakaian sumber daya yang sama) belum memperhitungkan RS swasta, baru sebatas RS pemerintah.

”Penghitungan rumah sakit swasta berdasar pola praktik dokter, belum penghitungan yang paling efisien. Saya sarankan, hitung kembali (besaran INA-CBGs). Saya kira angkanya bisa naik 50 persen dari yang sekarang. RS swasta harus merinci layanan mana saja yang bisa diefisienkan,” katanya.

Menurut Hasbullah, hitungan Rp 23.000 per orang per bulan sudah cukup untuk kelas III, tetapi memang harus ada efisiensi. Dia mengakui, hitungan pasar seharusnya Rp 50.000 per orang per bulan.

Kendati ada 16 rumah sakit mengundurkan diri dari kerja sama KJS, dampaknya tidak akan panjang. Namun, dengan adanya pengunduran diri, citra rumah sakit kurang bagus karena terlihat rumah sakit hanya mau untung saja. ”Apakah benar mereka rugi? Secara legal mereka memang bisa menolak, tapi mereka juga punya kewajiban sosial yang harus dipenuhi,” ujar Hasbullah.

Johny Simanjuntak, anggota Komisi E (Kesejahteraan Rakyat) DPRD DKI, meminta agar pihak RS tidak terlalu mengedepankan niat mencari untung karena pelayanan pasien KJS bukan untuk membuka peluang mencari keuntungan. Program ini lebih pada proyek sosial sesuai dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

”Sudah jelas diatur dalam undang-undang itu, setiap rumah sakit wajib menyediakan 20 persen pelayanan kelas tiga untuk keluarga miskin. Jangan bicara tarif komersial di sini, sebab memang semangat awalnya untuk melayani,” kata Johny.

Pertegas tugas

Menurut Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo, Pemprov DKI bisa menjadikan kasus KJS ini sebagai momentum merumuskan kembali pembayaran KJS. ”Rumuskan pelayanan medis apa saja yang dibantu pemerintah. Tentukan juga harga berbeda untuk rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta,” katanya.

RS pemerintah memiliki visi dan misi melayani. Peralatan medis dibeli dengan uang negara, sementara RS swasta dibangun murni untuk bisnis. Tentu RS swasta sulit memberikan subsidi setara dengan RS pemerintah.

YLKI juga meminta Pemprov DKI menyeleksi lagi penerima KJS. ”Pastikan hanya masyarakat yang membutuhkan bantuan yang menerima KJS. Jika pesertanya terseleksi dan sasarannya jelas, biaya kesehatan untuk mereka juga akan lebih besar dan tuntas layanannya,” katanya.

Sementara itu, menurut Fadli, salah satu dokter praktik swasta di Jakarta, pelayanan kesehatan gratis belum dibicarakan dengan dokter praktik swasta. Padahal, nantinya akan ada keterlibatan swasta dalam program ini. Untuk itu, perlu ada persiapan sejak dini agar tak terjadi kekacauan. (FRO/NEL/ART/NDY/WIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com