Seperti pengalaman yang dialami Lilik Suwardi (34), yang didiagnosa mengalami skizofrenia ketika berusia 20 tahun. Awalnya pemuda ini tak tahu, ilusi yang kerap dialaminya merupakan gejala skizofrenia.
"Saya selalu merasa orang di sekitar saya mengejek, menghina, bahkan meludahi saya. Walaupun saya tidak kenal orang itu," kata Lilik yang aktif di Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) ini.
Lilik juga merasa setiap suara bervolume besar dan diungkapkan dengan kasar. Dia mencontohkan suara sendok, terdengar seperti orang menggedor tembok. Lilik bahkan hanya makan satu kali sehari menggunakan tangan supaya tidak mendengar suara sendok
Ilusi ini membuatnya stres dan ketakutan setiap waktu. Lilik tak pernah merasa tenang sekalipun di rumah sendiri. Pertemuan dengan wajah yang tidak asing, misalnya keluarga, justru membuat penyakit ini semakin parah. Akibatnya Lilik sempat menggelandang dan tidur di masjid setiap malam supaya bertemu wajah baru.
Pengobatan yang dilakukan sejak 2002 juga bukannya berjalan tanpa hambatan. Masih adanya anggapan skizofrenia adalah penyakit akibat roh jahat, membuat Lilik berulang kali dibawa ke paranormal. Belum lagi bila Lilik lupa minum obat.
"Kalau ditotal saya sudah dirawat 7 kali di 4 rumah sakit berbeda di Jakarta dan Bogor. Kalau sudah dirawat saya merasa lebih baik, tidak lagi ada ilusi dan perasaan tertekan berkurang," kata Lilik.
Butuh waktu lumayan panjang baginya untuk mencapai kesembuhan. Setelah empat tahun sejak menjalani pengobatan, baru di tahun 2006 Lilik mulai sanggup melakukan aktivitas pribadi, seperti makan dan buang air, tanpa bantuan orang lain. Pada tahun 2008 Lilik baru bisa beraktivitas normal dan melakukan kontak sosial dengan tenang.
Skizofrenia juga dihadapi putra sulung Vin (47), Ari (22), bukan nama sebenarnya. Vin tak pernah menyangka anaknya yang pendiam, penurut, dan pintar ternyata mengalami skizofrenia.
"Saya kaget sekali teman Ari menelpon dan mengatakan seharian dia tidak di kampus. Temannya juga mengatakan anak saya sering duduk diam di pojok dan tidak melakukan apa-apa dalam waktu yang lama," kata Vin. Saat itu Vin segera menyusul anaknya yang sedang kuliah di Bandung.
Vin mengatakan dirinya merasa Ari mengalami gejala sama seperti di tokoh utama di film The Solois ditontonnya. sehingga ia lebih siap dan bisa menerima dengan lapang dada ketika dokter mendiagnosis hal yang sama.
Ari, kata Vin, selalu merasa orang lain mengejek dan akan membunuhnya. Dalam diamnya, Ari semakin larut pada rasa curiga.
Ari mulai menjalani pengobatan pada 2010. Selama pengobatan ia dibantu dokter, keluarga, dan teman, agar mengalami perubahan pola pikir. Vin mengatakan, rasa curiga perlahan dihapus dan diganti dengan pikiran positif. Ari juga diajak menghadapi rasa takut.
"Bagaimanapun saya beruntung karena Ari adalah anak yang bertanggung jawab dan mau berusaha. Keinginan yang besar untuk menyelesaikan kuliah, memacu Ari untuk segera sembuh," kata Vin.
Ari juga didukung keluarga yang tidak malu mengakui skizofrenia yang dialaminya. Keterbukaan inilah yang kemudian mengundang dukungan dari kerabat dan teman untuk Ari, agar segera sembuh.