Menurut aktivis anti rokok yang juga mantan ketua umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Kartono Muhammad, salah satu efek yang tak terbendung dari penolakan FCTC adalah masuknya produk rokok impor.
“Karena tidak ikut meratifikasi FCTC, maka Indonesia bisa dikatakan negara yang paling permisif pada produk rokok. Tidak heran bila berbagai negara penghasil rokok melirik Indonesia, yang paling baru Korea,” ujarnya.
FCTC, kata Kartono, sebetulnya bertujuan mengatur peredaran rokok di suatu negara, melalui demand dan supply reduction. Aturan ini semata menjaga supaya rokok tidak membunuh generasi muda dengan kandungan nikotin dan zat kimia berbahaya lainnya. Dengan penjagaan ini, maka kualitas generasi muda bisa terjaga dan tidak menjadi perokok di usia belia, baik secara aktif maupun pasif.
Pada demand reduction, diatur tentang paparan asap pada perokok pasif serta kandungan zat dalam rokok. FCTC juga memuat aturan peningkatan kebijakan publik pada bahaya rokok, serta pelatihan pengendalian tembakau bagi tenaga kesehatan, pekerja sosial, media, pendidik dan pengambil kebijakan.
Selain itu, ada aturan terkait iklan dan promosi rokok, termasuk bagaimana proses berhenti dari ketergantungan yang ditimbulkan. Aturan ini terdapat dalam pasal 8, 9, 10 12, 13, dan 14 dalam FCTC.
Sedangkan dari sisi supply reduction, terdapat aturan perdagangan produk tembakau, yang mengharuskan negara memantau setiap transaksi tembakau. Tiap perdagangan harus mencantumkan tujuan dan asal pengiriman produk. Pada bagian ini, terdapat larangan menjual atau memberikan rokok pada anak berusia di bawah 18 tahun.
Aturan juga memuat perlindungan kebijakan kesehatan masyarakat terkait pengendalian tembakau terhadap kepentingan industri rokok, perlindungan lingkungan, mekanisme koordinasi nasional, pelaporan, dan pertukaran informasi, serta pengaturan kelembagaan.
“Dengan ini, jelas sekali FCTC tidak merugikan industri rokok, namun semata melindungi generasi muda supaya tidak sedini mungkin menjadi perokok aktif maupun pasif. Memang ada vokasi yang selalu dilakukan, tapi kalau ada aturan yang jelas tentu lebih menguntungkan,” kata Kartono.
Dengan tidak diratifikasinya FCTC, maka perlindungan hanya ada pada upaya vokasi. Vokasi yang dilakukan terus menerus diharapkan bisa mengubah cara berikir masyarakat dan generasi muda terkait bahaya merokok, yang tidak hanya bagi kesehatan tapi juga sosial dan ekonomi.
“Tapi lama sekali kalau mengubah mind set. Namun dengan ketidaktegasan pemerintah hanya vokasi yang bisa dilakukan, padahal ancaman dari rokok impor bukan main-main,” kata Kartono.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.