KOMPAS.com — Satu minggu yang lalu, waktu sarapan pagi, saya lihat seorang Ibu dan anaknya sedang asyik menikmati sarapan di suatu hotel di Pekanbaru. Bermacam makanan tampak menumpuk dalam beberapa piring di atas mejanya. Ada nasi goreng dengan aneka ragam lauk di piringnya. Bubur ayam dan sup jagung makaroni terisi penuh di tiap-tiap mangkoknya. Dua potong omelet juga masih utuh di tempatnya.
Saya lihat juga di mangkok lain, ketupat gulai dan bubur kampiun yang menjadi makanan favorit di hotel itu. Penganan ringan seperti donat, kue, dan roti tampak tak ketinggalan. Yang tidak ada dari menu pagi itu di atas mejanya adalah sayuran dan buah-buahan.
Lalu, saya tertarik memperhatikan ibu dan anak ini, tidak hanya karena tumpukan makanan di atas mejanya. Sebagian besar dari kita toh juga sering berperilaku sama, apalagi jika momen makan itu kita anggap sebagai suatu kesempatan. Saat pesta perkawinan, ulang tahun, syukuran, dan hari raya, kita akan makan seperti itu, bahkan tidak jarang di rumah sendiri. Namun, melihat anaknya yang gemuk, tidak jauh beda dengan ibunya, menjadi alasan lain bagi saya untuk memperhatikan mereka.
"Berapa umur anak Ibu?" tanya saya memulai pembicaraan dengan ibu yang duduknya tidak jauh dari meja saya.
"Belum 5 tahun, Pak," jawabnya.
"Belum 5 tahun?" tanya saya kembali, karena saya tidak yakin melihat penampilan fisik anaknya.
"Ya, Pak, memang anak saya kelihatan bongsor."
"Berapa berat badannya?"
"Nggak tahu pastinya, barangkali sekitar 30-an kilo, Pak," ungkapnya.
"Adik atau kakaknya juga seperti dia?"
"Kakaknya, ya, tapi adiknya kelihatannya tidak," ungkap ibu yang ternyata sudah punya tiga anak ini.
"Ibu saya gemuk juga, beliau sudah almarhum, meninggal karena komplikasi diabetes, 2 tahun lalu. Saudara saya hanya 1 orang yang tidak gemuk, lainnya seperti saya, bahkan lebih gemuk lagi," cerita ibu itu, waktu saya menanyakan tentang ibu dan saudara-saudaranya.
"Jadi, keluarga kami gemuk semua, Pak. "Kata orang, ini karena keturunan," sambung ibu itu lagi sambil tetap melahap semua makanan yang ada dalam piringnya. Saya lihat anaknya juga melakukan hal yang sama, tidak ada makanan yang tersisa lagi di atas mejanya.
Tidak saya tanggapi secara langsung komentar ibu itu bahwa mereka gemuk semua, termasuk anak-anaknya, karena orangtuanya yang gemuk juga. Alasan yang sama juga sering disampaikan pasien-pasien saya. Namun, dalam hati, saya bergumam, "Kalau ibu ini makan seperti itu, anak-anaknya tidak akan jauh berbeda, dan itulah sebenarnya penyebab anaknya ini menjadi gemuk. Bukan lantaran faktor turunan."
Kita tidak dapat memilih siapa orangtua kita. Menurut teori, faktor genetik, turunan, memang berpengaruh terhadap gemuk tidaknya seseorang. Namun, bagaimana dan berapa besar pengaruh gen itu, hal tersebut tidak diketahui secara pasti.
Yang lebih penting dari itu sebenarnya adalah pengaruh lingkungan dalam keluarga itu sendiri. Bagaimana kebiasaan, perilaku, aktivitas, gaya hidup, pola makan orangtua, maka begitu jugalah anak-anak mereka.
Pola-pola inilah yang seolah-olah diturunkan. Nah, jika seorang ibu lebih sering duduk di depan TV dengan semangkok kue, donat, gorengan, dan satu per satu masuk ke dalam mulutnya, maka sang anak juga akan melakukan hal yang sama. Bila 1-2 piring nasi tidak cukup, dan si orangtua sering mengonsumsi junk food, makanan olahan, camilan, minuman kaleng, soda, es krim, maka anak juga akan menirunya. Kalau orangtua banyak duduk di sofa, enggan bergerak, olahraga, maka anak-anak juga tidak akan jauh dari itu.
Jadi, seperti anak ibu di atas, gemuknya tidak semata faktor turunan. Kebiasaan, gaya hidup, dan pola makan orangtualah yang lebih menentukan. Anak-anak tidak akan jauh berbeda dari orangtuanya dan lingkungannya. Karena itu, sebagai orangtua, berikanlah contoh yang baik, contoh yang sehat.
Jakarta, 9-2-2014
@irsyal_dokter
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.