Setelah menikah pada 2008, Hani melahirkan anak pertamanya pada 2011 melalui operasi sesar. Dokter kandungan Hani saat itu sebenarnya membolehkan ia untuk melahirkan normal, tetapi Hani khawatir anaknya terinfeksi. Anak pertamanya itu pun tak diberi air susu ibu (ASI). Setelah dites, anak pertama Hani negatif HIV.
Tahun 2013, Hani melahirkan anak kedua. Berbeda dengan anak pertama, Hani memberikan ASI eksklusif pada anak keduanya itu selama enam minggu. Bayi laki-laki itu diberi profilaksis antiretroviral (ARV) sebagai pencegahan transmisi. Setelah menjalani tes polymerase chain reaction (PCR) untuk mengetahui jumlah virus dalam tubuh, anak kedua Hani juga dinyatakan tidak terinfeksi HIV.
”Saya tidak meneruskan menyusui karena pemberian obat buat anak saya hanya enam minggu. Saya takut kalau nanti makin lama menyusui anak saya, makin berisiko terinfeksi. Anak saya lalu diberi susu formula,” ujar Hani.
Hani mengetahui dirinya positif HIV tahun 2004. Setelah mengonsumsi ARV selama enam bulan, jumlah virus dalam tubuhnya berkurang hingga tak terdeteksi lagi. Perempuan berusia 33 tahun itu tahu, dengan status itu, kemungkinan anaknya terinfeksi relatif kecil. Akan tetapi, tetap saja pikiran tak selalu sejalan dengan suara hati.
Ia diliputi ketakutan, anaknya akan terinfeksi HIV. ”Untuk memutuskan memiliki anak saja saya berpikir berulang kali selama tiga tahun. Beruntung keluarga dan lingkungan di sekitar saya mendukung,” ujar anggota Ikatan Perempuan Positif Indonesia itu, Sabtu (30/8), di Jakarta.
Hani berpesan kepada ibu hamil agar tak perlu takut memeriksakan diri untuk mengetahui apakah HIV positif atau tidak. Syukur jika hasilnya negatif HIV. Jika hasilnya positif dan diketahui sejak awal, itu jadi peluang mulai menjalani pengobatan.
Bisa dicegah
Perkembangan pengobatan HIV termutakhir menunjukkan, pemberian ARV sejak dini pada ibu hamil bisa menurunkan jumlah virus dalam tubuh ibu sekaligus dapat menurunkan risiko penularannya pada anak yang dikandung sang ibu.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Samsuridjal Djauzi mengatakan, masyarakat perlu tahu, saat ini transmisi HIV dari ibu ke anak bisa dicegah. Pengobatan sejak dini bisa menolong ibu dan bayi yang dikandung.
Syaratnya, setiap ibu hamil harus menjalani tes untuk mengetahui status HIV, apakah positif atau negatif. Hal itu disertai tes untuk menapis penyakit lain, seperti hepatitis dan penyakit menular seksual.
Jika hasilnya positif, bisa secepatnya mendapat pengobatan ARV tanpa harus menunggu pemeriksaan kekebalan tubuh atau CD4. Pemberian ARV pada trimester pertama kehamilan, yang dulu tak dianjurkan dokter karena khawatir ada efek samping dari ARV, kini bisa dilakukan karena aman.
Pemberian ARV makin awal justru memungkinkan jumlah virus dalam tubuh berkurang drastis hingga pada status tak terdeteksi. ”Pemberian ARV selama kehamilan minimal empat minggu bisa menurunkan jumlah virus dalam tubuh dan menurunkan risiko infeksi secara bermakna pada janin. Jika kurang dari waktu itu, masih terbuka untuk transmisi,” kata Samsuridjal.
Dulu, lanjut Samsuridjal, dokter kebidanan dan kandungan ragu memberikan ARV pada ibu hamil. Karena itu, mereka bertindak aman dengan tak merekomendasikan pemberian ARV, menyarankan melahirkan secara operasi, dan tak merekomendasikan kepada ibu memberi ASI eksklusif. Hal itu untuk memperkecil risiko penularan.
Menurut Baby Rivona, pendiri Medan Aceh Partnership (MAP), di daerah kondisinya lebih ekstrem. Karena diketahui HIV positif, ibu hamil ada yang didorong untuk tak punya anak dengan steril paksa oleh rumah sakit rujukan.
Sebenarnya, lanjut Samsuridjal, apabila seorang ibu hamil positif HIV tak mengonsumsi ARV, risiko bayi yang dikandungnya terinfeksi HIV 35 persen: 7 persen selama dalam kandungan, 15 persen ketika melahirkan normal, dan 13 persen saat menyusui.