Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/04/2015, 19:15 WIB
Hadassah Alexandria

Penulis

KOMPAS.com - Disiplin saat naik gunung itu penting! Jangan remehkan apa yang akan terjadi saat mendaki gunung. Salah satu hal yang sering diremehkan adalah serangan hipotermia atau kondisi kehilangan panas tubuh. Tanpa penanganan yang tepat, hipotermia bisa merenggut nyawa.

Hipotermia seringkali dialami para pendaki pemula, walau orang yang sering mendaki pun bisa juga mengalaminya. Penyebabnya antara lain kurangnya persiapan pendakian dan menganggap sepele stamina fisik selama pendakian.

Ketika mengikuti "Ekspedisi Alam Liar" dari Kompas.com dan melakukan pendakian Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, saya ternyata terkena sergapan hipotermia.

Dalam ekspedisi ini kami menggunakan mobil sampai sebelum Pos 3. Di pos inilah tempat kami bermalam di dalam tenda. Karena mobil sudah tidak bisa dibawa sampai ke Pos 3, maka kami harus berjalan kaki dan membawa semua barang kami sampai ke sana. Jarak mobil berhenti sampai ke Pos 3 sekitar 800 meter.

Saat itu, kondisi cuaca sehabis hujan cukup lebat, sehingga membuat hawa pada malam hari menjadi dingin. Sesampainya kami di Pos 3, sekitar pukul 20.00 WITA, saya langsung duduk dan menaruh semua barang saya di sebuah pondok berwarna hijau. Beberapa teman yang lainnya langsung mendirikan tenda agar kami bisa segera beristirahat karena besok akan melakukan perjalanan ke puncak pukul 02.00 WITA dini hari.

Ngobrol dong, jangan diam saja, kalo kelamaan diam nanti kedinginan," kata Wahyu, salah satu anggota tim ekspedisi.

Saya acuhkan kata-kata Wahyu karena saya sempat merasa tidak terlalu dingin. Kondisi saya saat itu berkeringat sehingga saya belum merasa kedinginan. Walaupun hawa dingin dan angin bertiup cukup kencang. Mencegah masuk angin, saya menenggak satu bungkus jamu.

“Ayo, Sa, langsung ganti baju, kalau diam saja bisa kedinginan. Tuh tenda lo sudah jadi," tutur Wahyu kepada saya.

Saya tetap saja diam dan tidak menanggapi perkataannya. Tetapi saya langsung bergerak ke dalam tenda untuk mengganti baju. Saat ganti baju, saya mulai merasa kedinginan. Saya pun langsung menggelar matras dan sleeping bag.

Tak lupa mengenakan jaket, sarung tangan, kupluk, dan kain untuk menghangatkan leher saya. Saya pun langsung menghangatkan diri di dalam sleeping bag. Sementara saya berbenah, beberapa rekan yang lain ada yang juga mengganti pakaian dan sebagian lagi ada yang menyiapkan makan malam.

“Kamu tidur dulu aja di dalam tenda, nanti kalau makanan sudah siap dibangunkan untuk makan malam, ya," kata Fikria, salah satu rekan tim ekspedisi.

“Iya, Mas," sahut saya sambil membungkus tubuh saya dengan sleeping bag. Setelah itu, saya langsung tertidur.

Tiba-tiba saya dibangunkan oleh Fikria untuk makan roti dengan secangkir teh manis panas. “Ini kamu ganjel perut dulu ya biar tidak kosong perutnya, sambil tunggu makan malamnya jadi," kata Fikria.

Pada saat saya bangun dan menyantap roti tersebut, tiba-tiba saya merasa sangat kedinginan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sekejap saya langsung menggigil dan meringkuk dalam sleeping bag karena saya tidak tahan dengan dinginnya. Saya hanya merasa kedinginan.

Melihat saya menggigil, rekan saya yang lain, Johanes, langsung memberikan jaketnya kepada saya. Setelah saya memakainya saya masih tetap merasa kedinginan. Fikria kemudian langsung masuk ke dalam tenda untuk menolong saya.

Saat itu saya tidak bisa banyak bergerak karena kalau saya bergerak akan semakin merasa kedinginan. Fikria langsung memberikan jaket bulu angsanya kepada saya, serta sleeping bag tambahan agar saya merasa hangat, tetapi suhu tubuh saya tidak juga berubah bahkan saya masih merasa kedinginan.

Saat itu, yang saya ingat hanya ada yang mengatakan “Bikinkan air panas, biar dia pegang”. Ada juga yang mengatakan, “Jangan sampai dia tidur”.

KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO Gugusan bintang terlihat dengan latar depan bibir kaldera Gunung Tambora, Dompu, Nusa Tenggara Barat, Senin (23/3/2015). Kaldera memiliki luas diameter 7 kilometer yang terbentuk akibat letusan dahsyat pada tahun 1815.

Ternyata hipotermia

Akhirnya saya diberikan pertolongan pertama, yaitu dipeluk agar suhu tubuh orang lain dapat membantu menaikkan suhu tubuh saya. Saya masih tetap merasa kedinginan, tetapi sudah lebih berkurang. Menurut saya karena saya sudah diberikan tambahan sleeping bag dan jaket, serta dipeluk. Setelah itu, saya tertidur pulas.

Esok harinya, saya bangun dan mencari sinar matahari untuk lebih menghangatkan tubuh saya. Pagi itu saya dan tim yang lainnya membicarakan apa yang saya alami malam itu.

“Kamu tuh kena hipotermia sedang, Sa. Kalau lagi naik gunung begini, harus ada orang yang tahu penanganan pertama apabila temannya kena hipotermia, karena kalau tidak bisa berujung pada kematian," kata Fikria yang memang sudah biasa mendaki gunung.

Menurut Edelstein, Li, Silverberg, dan Decker (2009), hipotermia adalah suatu kondisi ketika mekanisme tubuh untuk pengaturan suhu kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin. Biasanya, suhu bagian dalam tubuh di bawah 35 °C (95°F). Tubuh manusia mampu mengatur suhu pada zona termonetral, yaitu antara 36,5-37,5 °C.

Di luar suhu tersebut, respon tubuh untuk mengatur suhu akan aktif menyeimbangkan produksi panas dan kehilangan panas dalam tubuh. Pada suhu ini, mekanisme kompensasi fisiologis tubuh gagal untuk menjaga panas tubuh (Fauci, 2008). Tak heran saya merasa sangat kedinginan walaupun sudah berada di dalam tenda yang biasanya membuat kita lebih hangat karena tidak terkena hawa dingin.

Setelah saya ingat kembali, pemicu saya terkena hipotermia dikarenakan saat sampai di Pos 3 saya berkeringat dan tidak langsung mengganti pakaian saya. Apalagi saat itu udara berangin serta turun hujan. Tambahan lagi kondisi perut saya yang kosong.

Berawal dari hal sepele, berujung pada suatu hal yang bisa menyebabkan kematian. Sebuah pelajaran bagi saya agar semakin memperhatikan hal-hal yang saya anggap sepele, seperti kesehatan.

Saat mendaki gunung, pendaki memang harus memperhatikan bagaimana kondisi lapangan di gunung tersebut, serta segala persiapan sebelum pendakian, baik fisik maupun mental, dan semua sarananya. Sekali lagi saya ingatkan, disiplin saat mendaki gunung itu sangat penting!

Ikuti kisah perjalanan "Ekspedisi Alam Liar'' dari tim Kompas.com saat menjelajahi Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat pada 18-25 Maret 2015 dalam liputan khusus "Ekspedisi Alam Liar".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com