Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/06/2015, 15:00 WIB

Oleh: Agnes Aristiarini

Belum reda kegembiraan atas keberhasilan mengatasi wabah ebola di pantai barat Afrika, datang berita mengejutkan dari Korea Selatan: MERS merebak. Akibatnya, enam warganya meninggal dan 2.500 warga dikarantina.

Asal-usul MERS—singkatan dari Middle East Respiratory Syndrome atau Sindrom Pernapasan Timur Tengah—memang sesuai namanya. Pertama kali dilaporkan September 2012 di Arab Saudi, penyakit ini disebabkan oleh virus korona yang menyerang sistem pernapasan. Pasien MERS umumnya menderita gangguan pernapasan akut dengan gejala demam, batuk, dan napas pendek-pendek. Dilaporkan, 3-4 orang dari setiap 10 pasien MERS meninggal.

Penyakit ini menyebar dari mereka yang terinfeksi ke orang-orang di sekelilingnya yang kontak secara dekat, terutama orang yang merawat atau hidup bersama dengan penderita. Hasil penelitian menunjukkan, rantai penyebaran terjadi di rumah sakit dan belum pernah ditemukan di komunitas.

Meski demikian, setiap orang bisa saja tertular. Pasien MERS mencakup usia kurang dari 1 tahun hingga 99 tahun dengan tingkat kematian 58 persen. Bandingkan dengan tingkat kematian akibat SARS (10 persen) dan flu burung (80 persen).

Menurut Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, kasus pertama MERS sebenarnya terjadi di Jordania pada April 2012. Penyakit ini kemudian menyebar ke negara-negara di kawasan Peninsula Arab dan akhirnya meluas ke seluruh dunia. Hingga kini, MERS sudah menyebar ke 15 negara, termasuk Asia Timur dan Tenggara, serta Amerika Serikat.

Mirip SARS

MERS sering disebut flu arab karena gejalanya mirip influenza meski kadang disebut pula penyakit serupa SARS karena gejalanya tak jauh beda: mulai dari flu ringan sampai sindrom pernapasan akut yang berakibat fatal. MERS dan SARS sama-sama disebabkan oleh virus dari genus coronavirus.

Menurut CA Nidom, anggota Komnas Pinere Kementerian Kesehatan, dalam ”MERS Mengintip di Beranda Kita” (Kompas, 14/5/2014), MERS punya struktur RNA beruntai positif tunggal, sementara virus flu burung beruntai negatif dan berfragmen. Artinya, virus MERS lebih sederhana dan lambat bermutasi sehingga tingkat keganasannya juga lebih rendah apabila dibandingkan dengan flu burung.

Meski sampai saat ini di Indonesia belum pernah ditemukan kasus yang positif MERS—dari 99 pasien yang dicurigai, 74 orang di antaranya telah diperiksa di laboratorium dengan hasil negatif (Kompas, 6/6/2014)—masyarakat sebaiknya tetap berhati-hati. Ini mengingat makin banyaknya orang Indonesia yang menjalankan ibadah umrah ataupun haji.

Menurut Nidom, selain menghindari kontak langsung dengan sumber penyakit MERS—termasuk di antaranya unta karena diketahui pada tubuh unta pernah atau sedang terjadi replikasi virus MERS—jemaah sebaiknya juga mengenakan masker standar (N-95) secara terus-menerus di Arab Saudi.

Mereka juga dianjurkan untuk sering cuci tangan dan kaki dengan sabun, berhenti merokok, mengurangi aktivitas bicara, dan menguatkan fungsi kekebalan tubuh. Tidak ada salahnya mereka yang menderita penyakit kronis, seperti gangguan jantung, ginjal, dan gula, memeriksakan diri secara menyeluruh sebelum berangkat karena data menunjukkan mereka yang berpenyakit kronis lebih rentan terinfeksi MERS.

Namun, ke depan Indonesia tampaknya perlu menyiapkan dan membuat vaksin sendiri. Apalagi kemampuan para peneliti sudah teruji. Dengan demikian, jika sewaktu-waktu terjadi wabah, kita sudah mampu menyiapkan vaccine seed secara cepat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau