Keluhan berikutnya muncul. "Saya tidak diterima kerja gara-gara gagal di psikotes", "Saya sudah cari di internet tentang psikotes, tapi masih gagal juga. Bikin susah cari kerja aja!", "Saya sudah pernah psikotes sampai 14 kali, tapi tetap belum diterima kerja", dan sebagainya.
Kondisi tersebut membuat banyak orang yang merasa gagal dalam psikotes mendatangi psikolog untuk mengetahui apakah ada yang salah dengan mereka, atau meminta jawaban dari tes-tes yang dikerjakan.
Berbagai artikel yang tampaknya membantu, padahal menyesatkan, beredar di mana-mana. Termasuk di Kompasiana ini. Artikel-artikel itu berisi petunjuk mengerjakan psikotes, terutama tes menggambar pohon, orang dan 'kotak-kotak berjumlah 8'. Saya heran kenapa penulisnya berani memberikan tips padahal mereka tidak belajar ilmunya. Sungguh, tips itu menyesatkan.
Sebelumnya, istilah psikotes sudah tidak digunakan lagi oleh para psikolog. Kami menggunakan istilah Pemeriksaan Psikologi. Jadi kalau ada yang masih menggunakan istilah psikotes, bisa ditengarai bahwa orang tersebut bukan psikolog.
Fungsi pemeriksaan psikologi
Perusahaan ingin mendapatkan karyawan yang terbaik, mampu mengikuti 'irama' kerja mereka, dan selaras dengan misi visi perusahaan. Untuk itulah diperlukan seleksi. Ibarat saringan, seleksi yang baik akan menghasilkan pekerja terbaik bagi mereka. Ada banyak cara untuk melakukan seleksi. Tergantung juga pada kemampuan perusahaan. Salah satu yang sering digunakan adalah Pemeriksaan Psikologi (kemudian akan saya singkat dengan PPsi).
Dalam menentukan alat tes untuk PPsi, seorang psikolog akan menggunakan beberapa alat ukur. Disebut dengan batterai tes. Mengapa kami menggunakan lebih dari satu alat ukur? Karena tiap alat ukur mengungkapkan aspek berbeda serta untuk mengetahui konsistensi karakteristik pribadi calon karyawan. Minimal ada 6 jenis alat ukur yang digunakan.
Kalau seorang pelamar mencari bocoran alat ukur ini, lalu dia menghafalkan, kemudian menerapkan jawaban tadi pada alat ukur yang dikerjakannya, maka bisa dipastikan dia akan terjebak. Sebab tidak ada konsistensi kepribadian pada keseluruhan batterai tes tadi. Mungkin dia hanya bisa mendapatkan 'contekan' pada satu alat ukur, tapi bagaimana dia bisa mendapatkan 'contekan' pada alat ukur lainnya?
Jadi percuma saja seorang pelamar mencari jawaban yang benar untuk menjalani psikotes. Belum lagi proses wawancara dengan psikolognya. Makin tampak tidak konsisten ketika psikolog melihat hasil PPsi dengan hasil wawancara. Bisa dipastikan, pelamar seperti itu tidak akan diterima.
Sebenarnya pelamar tidak perlu belajar atau mencari contekan. Karena hasil PPsi itu bukan berupa benar atau salah, kecuali tes IQ yang ada jawaban benar-salah. Hasil PPsi disesuaikan dengan keadaan sesungguhnya dari pelamar, lalu hasil tersebut dicocokkan dengan kebutuhan perusahaan. Kalau keduanya sesuai, maka pelamar diterima. Kalau tidak sesuai, pelamar ditolak.
Karena berkali-kali gagal dalam PPsi, banyak orang mendatangi psikolog atau mahasiswa psikologi untuk bertanya bagaimana caranya agar sukses dalam PPsi. Mereka ingin mendapatkan kunci jawaban. Kalau para psikolog, mahasiswa psikologi (S1), atau mahasiswa profesi psikologi (S2), benar-benar berpegang pada Kode Etik Psikologi, maka mereka tidak akan memberikan jawaban.
Mengapa mereka tidak memberikan jawaban? Memang dalam Kode Etik tidak diperkenankan, namun lebih karena esensi PPsi itu sendiri. Jawaban yang mereka berikan tidak akan membantu seseorang sukses dalam PPsi, malah jawaban itu akan membuat individu itu anjlok hasilnya. Alat-alat ukur dalam PPsi memang dirancang untuk mengungkapkan individu secara unik. Hasil-hasil yang diperoleh akan dikompilasi oleh psikolog sehingga menghasilkan pemahaman utuh -atau paling tidak mendekati- tentang pelamar.
Bila ada 2 pelamar menggambar pohon yang sama, maka interpretasinya bisa berbeda, tergantung pada hasil pada alat ukur lainnya. Nah, bisa dibayangkan bahayanya kalau pelamar itu mendapatkan contekan yang tidak akurat bahkan menyesatkan.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan unutk menjalani pemeriksaan psikologi, yaitu :
1. Mempersiapkan fisik
Pastikan Anda tidak sedang sakit saat menjalani PPsi. Apalagi kalau sedang minum obat yang bikin ngantuk. Dengan banyaknya alat ukur yang harus dikerjakan, maka kondisi fisik sehat dan fit diperlukan. Rata-rata PPsi berlangsung kurang lebih 4-5 jam (termasuk wawancara). Kalau sedang sakit, biasanya orang cenderung menjawab tidak serius. Mereka ingin cepat selesai. Akibatnya hasilnya tidak konsisten.
Khusus untuk tes IQ, kondisi sehat ini penting. Diperlukan konsentrasi untuk menjawab soal-soal di dalamnya. Bisa dibayangkan kalau orang yang mengerjakan tes IQ mengantuk atau sakit? Jawabannya pasti amburadul. Komunikasikan pada perusahaan yang Anda lamar kalau memang Anda sedang sakit. Jauh lebih baik lampirkan surat dokter. Agar mereka bisa menjadwal ulang PPsi-nya (kalau perusahaannya baik hati).
2. Bersikap apa adanya
Hampir semua alat ukur yang digunakan punya batasan waktu. Oleh karena itu, bersikaplah apa adanya. Kerjakan satu alat tes dengan benar sesuai instruksi. Setelah selesai, tutup alat tesnya. Tidak perlu ditengok lagi. Tidak perlu dikoreksi jawabannya. Dan tidak perlu mengingat kembali apa jawabannya.
Kalau Anda menengok kembali jawabannya, kemudian merevisi, maka Anda akan kehilangan waktu untuk mengerjakan sub tes berikutnya. Untuk mengejar ketinggalan, Anda buru-buru mengerjakan sub tes baru itu, lalu kepikiran dengan hasilnya. Kondisi ini akan berlangsung hingga PPsi selesai. Merugikan diri sendiri. Mengapa? Karena bisa dipastikan performa Anda tidak akan maksimal. Perasaan Anda pun kacau. Apakah ada yang pernah mengalami?
Mirip seperti menjalani kehidupan ini. Hadapi persoalan yang ada, selesaikan. Lalu tutup buku. Tidak perlu menengok masa lalu, percuma. Kerjakan permasalahan hidup saat ini sepenuh hati, sepenuh tanggungjawab, fokus, dengan komitmen, lalu serahkan hasilnya pada Tuhan. Selesai. Hadapi hari baru dengan sikap baru. Begitulah sikap yang diharapkan saat menjalani PPsi.
3. Berikan jawaban otentik
Dalam proses PPsi, ada beberapa orang yang tidak percaya diri. Mereka melongok teman sebelahnya, lalu meniru jawabannya. Mereka beranggapan kalau perilakunya tidak akan ketahuan oleh pengawas. Ya memang mungkin pengawas tidak akan tahu, apalagi kalau peserta dalam satu kelas itu sekitar 40 orang atau lebih. Tapi perilaku itu akan terungkap ketika psikolog menginterpretasi hasil PPsi secara komprehensif.
Ingat, ada batterai tes yang digunakan. Kalau psikolognya baik hati, orang seperti itu tetap akan diwawancarai, tapi kalau tidak, maka peserta itu akan langsung didiskualifikasi. Disuruh pulang langsung!
Berikan jawaban otentik. Jawaban yang sungguh keluar dari pikiran dan hati Anda. Itulah jawaban yang 'benar'.
Penulis: Psikolog Naftalia Kusumawardhani
Tips selengkapnya dalam menjalani psikotes bisa dibaca di Kompasiana: Tips Menjalani Psikotes.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.