Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/11/2015, 08:00 WIB
KOMPAS.com - Bermaksud mendisiplinkan anak atau agar anak menuruti kehendak orangtua, tanpa sadar kita sebagai orang dewasa mengeluarkan ancaman atau menakut-nakuti. Walau cara ini bisa berhasil, tapi seringkali anak tidak mempan lagi diancam.

Ancaman seperti "Kalau kamu nakal nanti ibu akan pergi,", atau "Awas, jangan keluar rumah kalau sudah sore biar tidak diculik", mungkin juga sering kita ucapkan agar anak menurut.

Pola asuh suka mengancam dan menakut-nakuti tersebut memang sering dilakukan orangtua. Menurut psikolog dari Universitas Tarumanegara Naomi Soetikno, M.Pd, Psi, kebiasaan itu merupakan hasil dari masa penjajahan.

"Sejak dulu kita biasa diancam. Banyak orangtua yang menganggap pola pendidikan reward and punishment adalah yang terbaik. Tetapi kini pendekatan seperti itu sudah mulai ditinggalkan," kata Naomi dalam acara Forum Ngobrol Bareng Sahabat di Nutrifood Inspiring Center Jakarta (2/11/15).

Anak yang sering diancam atau ditakut-takuti bisa tumbuh menjadi anak yang penakut, peragu, serta memiliki kepercayaan diri rendah.

Usia 2-12 tahun adalah periode yang paling menentukan pada perkembangan aspek emosional anak. Ini karena pada periode ini merupakan masa pembentukan ego dan self-esteem.

"Anak menyerap banyak informasi tetapi belum punya keterampilan untuk menata atau memilih pengalaman itu. Sehingga semua terekam, termasuk yang negatif," paparnya.

Naomi menjelaskan, saat ini pola asuh yang banyak dipakai adalah positif psikologi. "Jadi lebih banyak memberikan komentar-komentar positif dalam berbagai situasi," katanya.

Ia mengakui tak mudah selalu memberi komentar positif. "Memang perlu latihan untuk berpikir dan berucap positif," ujar psikolog yang sedang melanjutkan studinya ke jenjang doktoral ini.

Alih-alih hanya menjadi "mandor" yang cuma main perintah pada anak, Naomi menyarankan agar orangtua memperbanyak kebersamaan dengan anak. "Kalau melihat kamar anak berantakan, dari pada teriak-teriak menyuruh anak membereskan, lebih baik ajak anak membereskannya bersama-sama," katanya.

Setelah anak melakukan hal yang baik, beri anak apresiasi dengan penekanan pada sebab dan akibatnya. Misalnya, setelah kamar bersih dan rapi, sampaikan bahwa kalau sudah bersih kamar jadi lebih terang sehingga membaca pun lebih enak.

Hindari memberi hadiah jika anak berperilaku baik karena anak akan berpikir semua kesalahan bisa dikompensasi dengan hadiah, atau secara tidak langsung mengajarkan anak "budaya nyogok".

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya

Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com