Belum sempat mengembus napas lega setelah redanya penularan flu burung, ebola, ataupun Sindrom Pernapasan Timur Tengah (MERS), dunia kembali dihebohkan dengan kehadiran Zika. Inilah virus anggota keluarga Flaviviridae dengan nyamuk aedes sebagai vektor penularannya.
Menular lewat nyamuk yang sama, gejala infeksi Zika lebih mirip dengan chikungunya ketimbang demam berdarah dengue: demam, nyeri sendi dan otot, sakit kepala, bintik-bintik merah di kulit, serta mata merah akibat peradangan selaput lendir kelopak mata atau konjungtiva.
Meski demikian, sebagai virus yang sekeluarga dengan demam berdarah, demam kuning, ensefalitis, ataupun west nile, virus ini—jika menginfeksi perempuan hamil— tampaknya berkaitan dengan kelahiran bayi berkepala kecil yang menghambat perkembangan otaknya.
Seperti dikabarkan majalah Time (1/2/2016), di Recife, salah satu kota di Brasil tempat Zika merebak, tim dokter di Rumah Sakit Oswaldo Cruz sejak tahun lalu telah mengamati kelahiran bayi-bayi microcephaly atau berkepala kecil.
”Pernah sampai tiga dalam sehari, berarti ada sesuatu yang tidak beres,” kata dr Vanessa van der Linden, neurolog.
Ketika ditelusuri ke belakang, ibu-ibu yang melahirkan bayi berkepala kecil ternyata pernah ke dokter dengan keluhan demam dan bintik-bintik merah di awal kehamilan mereka. Sepanjang 2015 ada sekitar 30.000 kasus dengue di Brasil dan 60 persen di antaranya positif Zika.
Bukan penyakit baru
Zika mulai ditengarai tahun 1947 ketika para ilmuwan meneliti asal-usul demam kuning pada monyet-monyet di hutan Zika, Uganda. Dari hasil isolasi serum, 1952, ditemukan virus yang kemudian dinamai sesuai nama hutan asalnya. Tahun 1954, virus Zika ditemukan pada manusia di Nigeria.
Kasus infeksi di luar Afrika sebenarnya jarang ditemukan. Baru tahun 2007 banyak kasus bermunculan di Pulau Yap, Mikronesia. Epidemi bahkan makin sering terjadi di Polinesia, Pulau Paskah, dan Kepulauan Cook di Kaledonia Baru. Namun, umumnya tidak ada kasus kematian atau perawatan di rumah sakit.
Setelah itu, kejadian luar biasa di luar Afrika baru muncul lagi April 2015 di Brasil. Otoritas kesehatan setempat menyatakan, saat itu ada sekitar 500 pasien dengan gejala serupa flu diikuti ruam merah dan nyeri. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan, sebagian besar mereka positif terinfeksi Zika.
Para ilmuwan mengaitkan kejadian luar biasa ini dengan penyelenggaraan berbagai pertandingan olahraga internasional di Brasil, mulai dari lari cepat, kano, hingga Piala Dunia 2014.
Dalam kertas kerja yang diterbitkan Pusat Kontrol Penyakit Amerika Serikat (CDC), disebutkan, kehadiran tim dari Polinesia dalam lomba lari cepat dan kano bisa jadi adalah awal penyebaran Zika di Brasil. Peserta yang terinfeksi digigit nyamuk aedes yang lalu memindahkan virus ke masyarakat lokal.
Hal itu sejalan dengan hasil penelitian yang dipublikasikan Juni 2015 dalam jurnal kedokteran Memórias do Instituto Oswaldo Cruz, yang menyebutkan bahwa profil genetik virus Zika di Brasil serupa dengan virus Zika di Polinesia, suatu kepulauan di Pasifik Selatan (ABC News, 28/1/2016).
Dalam bukunya, The Coming Plague (1994), Laurie Garrett mengingatkan, kemunculan virus-virus baru tak lepas dari perubahan ekosistem dan mobilitas manusia yang luar biasa di era modern ini.
Perbaikan infrastruktur, kemajuan transportasi, membuat virus di suatu kawasan yang menginfeksi seseorang dengan cepat terbawa ke sisi lain dunia. Demikian pula serangga yang terbawa di kargo atau monyet-monyet percobaan, bisa saja terkontaminasi virus dan kemudian menyebar ke mana-mana.
Apa boleh buat. Karena setiap organisme akan beradaptasi untuk bertahan, maka manusia juga harus beradaptasi: mencari jalan yang selaras dengan alam untuk menghadapinya.