JAKARTA, KOMPAS.com – Rasanya seperti tersambar petir ketika Pinta Manullang-Pangabean mendengar anak pertamanya, Andrew Maruli David Manullang atau dikenal dengan nama Anyo, didiagnosis kanker darah atau leukemia oleh dokter.
Saat itu Anyo berusia 11 tahun. Namun, Pinta dan suaminya, Sabar Manullang pun tak mau larut dalam kesedihan. “Kita harus cepat bangkit karena kanker itu enggak bisa nunggu, harus segera diobati,” kata Pinta.
Anyo langsung menempuh pengobatan medis, termasuk menjalani transplantasi sumsum tulang. Kondisi Anyo sempat membaik. Tetapi kemudian kanker muncul lagi. Hingga akhirnya, Anyo meninggal dunia di usia 19 tahun.
“Tuhan ternyata punya rencana indah telah mengizinkan Anyo stop di usia 19 tahun. Kami tidak pernah menyalahkan Tuhan. Anyo juga tidak menyalahkan Tuhan. Itu yang sudah digariskan Tuhan,” kata Pinta.
Menurut Pinta, ketika anak terkena kanker, orangtua harus menerima kenyataan itu terlebih dahulu. Kemudian bicarakan kepada anak mengenai kondisinya. Orangtua harus terus berpikiran positif dan sebaiknya jangan menangis di depan anak. Perasaan sedih hingga menangis suatu hal yang wajar, tetapi jangan terlalu lama dalam kesedihan.
“Kita sebagai ibu harus kuat. Walau memang tak semudah yang saya katakan. Anak itu melihat ibunya. Kalau ibunya kuat, anaknya juga akan kuat,” ujar Ketua Yayasan Anyo Indonesia (YAI) itu.
Pinta juga mengingatkan, jangan menganggap anak yang terkena kanker sebagai aib. Terbukalah dengan orang di sekitar atau saling bertukar cerita dengan keluarga yang anaknya juga terkena kanker untuk saling menguatkan. Tunjukkan selalu rasa kasih sayang dan kepedulian orangtua.
Jangan terlalu protektif
Daya tahan tubuh anak penyandang kanker memang rendah. Mereka harus menjaga kesehatan agar tak mudah tertular penyakit dari orang lain yang sedang sakit. Kemungkinan kanker muncul kembali pun selalu ada setelah anak selesai menjalani pengobatan pertama.
Akan tetapi, terkena kanker bukan berarti anak tak boleh melakukan ini itu. Jangan terlalu protektif, apalagi melarang anak melakukan kegiatan yang disukai. Menurut Pinta, terlalu protektif bisa membuat anak merasa penyakitnya sebagai beban.
Pinta percaya, setiap anak pasti bisa mengukur dirinya sendiri. Ketika lelah bermain, anak pun akan berhenti dan istirahat. Jangan berlebihan memperlakukan anak sebagai orang yang sakit.
“Perlu kita kondisikan sesuatu yang menyenangkan. Hati yang gembira itu obat, lho,” kata Pinta.
Hal senada dikatakan ahli kanker anak, dr Edi Tehuteru, SpA (K). Ia mengatakan, sering kali orangtua melarang anak penyandang kanker untuk sekolah karena takut anak kelelahan. Padahal, sekolah atau tidak sekolah bisa membuat kondisi kesehatan yang sama pada anak.
Edi menceritakan, ada seorang anak perempuan yang menjadi pasiennya malah sangat aktif melakukan kegiatan, mulai dari main piano hingga menjadi kipper dalam olahraga futsal. Leukositnya pun selalu normal.
Selalu ada harapan
Kanker bukan berarti mati. Selalu ada harapan kesembuhan dari setiap penyakit. Edi mengatakan, setelah anak selesai menjalani pengobatan seperti operasi, kemoterapi, dan radioterapi, memang belum bisa dinyatakan sembuh. Risiko kanker muncul lagi masih ada.
Lima tahun pertama adalah waktu kanker bisa muncul kembali. Lewat dari lima tahun, kemungkinan kanker untuk muncul kembali sangat kecil.
Pasien kanker anak pun bisa tumbuh hingga dewasa seperti anak-anak lainnya. Edi menceritakan, ada pasien kanker anak yang kini sudah menjadi dokter spesialis radiologi. Ada pula pasien anak yang terkena kanker otak, kini sudah menjadi analis laboratorium .
Edi mengatakan, semua itu sudah diatur oleh Tuhan. Tuhan telah mengizinkan sang anak terkena kanker. Orangtua harus menerima kenyataan tersebut dan menghadapinya dengan semangat, serta selalu berdoa. Begitu pula yang harus dihadapi oleh anak penyandang kanker.
“Jangan kecewa kalian kanker. Itu yang sudah digariskan Tuhan. Tuhan mengizinkan. Saya yakin, Tuhan menyiapkan sesuatu yang indah nantinya,” kata Edi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.