JAKARTA, KOMPAS.com - Ketika anak didiagnosis kanker, siapa yang paling merasa terpukul? Tentunya orangtua. Selama masih bisa berlari-lari, masih berenergi, anak kecil tak menyadari jika dirinya sakit. "Jadi yang diterapi enggak cuma yang sakit, tapi juga anggota keluarga yang tidak sakit," ujar Psikolog Tika Bisono di Jakarta, Kamis (3/9/2015).
Setelah kesedihan menghampiri, stres, baik yang dialami ayah maupun ibu, akan muncul banyak masalah dalam keluarga. Selama menjadi pendamping psikologis pasien dan keluarga kanker, Tika mendapati banyak kasus yang terjadi di keluarga.
Tika menuturkan, orangtua sering kali fokus perhatiannya mendadak hanya kepada anak yang sakit. Sang adik atau kakak yang tidak sakit akhirnya cemburu, karena merasa tidak diperhatikan, terutama oleh sang ibu. Mereka kemudian bertengkar untuk berebut perhatian. "Si sakit dianggap hambatan untuk mendapat perhatian orang tuanya. Empati seperti itu harus dibangun di rumah, di keluarga," jelas Tika.
Wanita juga tak boleh melupakan perannya sebagai seorang ibu bagi semua anaknya, juga sebagai seorang istri, ketika anak terkena kanker. Tika mengungkapkan, masalah psikologis juga kerap terjadi pada sang ayah. Kebanyakan ayah sulit berdamai dengan situasi anaknya. Apalagi, jika anak yang terkena kanker adalah laki-laki. "Ayah merasa bersalah. Saat dia kecewa, perilakunya bisa malah terbalik. Jadi menghindar dan ada yang sampai meninggalkan anaknya," ungkap Tika.
Ketika mendengar kata kanker, kebanyakan orang akan berpikir tentang kematian. Beranggapan jika sudah terkena kanker pasti meninggal dunia. Padahal, kematian ditentukan oleh Tuhan. "Ikhtiar enggak boleh ada putusnya. Jatuh bisa, namanya juga manusia," imbuh Tika.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.