Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/04/2016, 19:00 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

KOMPAS.com - Penyakit wasir dan kanker usus besar memang memiliki gejala yang mirip, yakni ditemukannya darah saat buang air besar. Kondisi ini membuat banyak pasien tidak segera mendapat penanganan yang tepat.

Yustianto (64) mendapati ada benjolan di sekitar anusnya sekitar tahun 2014. Mengira itu adalah gejala wasir atau hemoroid, ia pun membeli obat bebas di toko obat. Setiap kali keluhan itu muncul, segera pula ia meminum obat.

Sampai di akhir tahun 2015 ia mulai mengeluhkan rasa sakit yang tidak biasa ketika BAB. Obat warung yang jadi andalannya pun tak mempan lagi menghilangkan nyerinya. Tak kuat menahan sakit selama sebulan, ia pun mendatangi dokter.

"Saya lalu berobat ke dokter tapi dirujuk ke dokter bedah. Setelah dilakukan pemeriksaan dan biopsi, ternyata ada kanker usus usus besar sudah stadium dua," kata pria yang biasa disapa Jo ini.

Kanker usus besar memang memiliki beberapa gejala, antara lain diare berulang, BAB berdarah, sulit BAB (feses kecil-kecil dan keras), serta ada sumbatan pada usus jika kanker sudah stadium lanjut.

Dokter Eko Priatno, Sp.B-KBD yang menangani penyakit Jo mengatakan, memang sulit membedakan wasir dengan kanker. "Harus dilakukan cek colok dubur," katanya. 

Gejala sembelit atau pun diare ternyata juga tergantung pada letak kanker. Menurut Eko, jika kanker berada di bagian kanan usus besar maka gejala yang dialami adalah diare dan tubuh lemas. Sementara jika sel kankernya di usus besar sebelah kiri maka gejala yang timbul adalah sulit BAB atau feses menjadi keras.


Metode bedah terbaru


Setelah dipastikan kanker, Eko lalu menyarankan Jo untuk segera menjalani operasi. Pengobatan utama kanker pada usus besar dan rektum (kolorektal) adalah dengan operasi. Pada lebih dari separuh kasus, pembedahan dapat menyembuhkan jenis kanker ini.

Eko menjelaskan, saat ini operasi kanker kolorektal sudah memakai metode bedah minimal invasive. "Memakai kamera laparoskopi dokter akan membuat tiga titik untuk memasukkan alat. Luka sayatan pun sangat kecil, hanya sekitar satu sentimeter. Proses pemulihan pun lebih cepat," kata dokter dari RS.Pondok Indah Jakarta ini.

Meski demikian, menurut Eko tidak semua kanker kolorektal bisa diatasi dengan teknik bedah ini. "Idealnya hanya untuk kanker stadium satu sampai tiga. Kalau sudah stadium empat biasanya sudah menyebar ke organ lain, tapi dokter yang sangat ahli bisa tetap menggunakan bedah minimal invasive," paparnya.

Di antara mereka yang beresiko tinggi mengalami kambuhnya kanker atau bila kanker telah menyebar ke jaringan terdekat, biasanya dianjurkan menjalani kemoterapi setelah dilakukan pembedahan.

Salah satu kekhawatiran pasien kanker kolorektal setelah operasi adalah penggunaan stoma (kantong) untuk menampung feses. Namun, menurut Eko tidak semua pasien memerlukannya.

"Pasien memerlukan stoma jika letak tumornya sangat rendah atau dekat anus sehingga anusnya harus dibuang," katanya.

Selain itu, pasien yang menjalani radiasi sebelum dan setelah operasi juga memerlukan stoma karena beresiko tinggi mengalami kebocoran akibat penyambungan usus.

Jo yang juga diharuskan memakai stoma mengatakan awalnya merasa tidak nyaman, tetapi saat ini ia mengaku sudah terbiasa.

"Yang penting menjaga pola makan saja, mengurangi makanan pedas dan makanan yang bikin perut kembung," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau