KOMPAS.com - Salah satu hobi saya menonton salah satu program televisi asing, yang selalu menayangkan urusan orang makan. Program ini begitu memikatnya, sehingga orang yang sudah kenyang pun bisa muncul air liurnya menyaksikan para pembawa acara yang dengan gaya khasnya masing-masing mengekspresikan kenikmatan duniawi satu ini.
Hebatnya lagi, tidak pernah terlihat racikan bumbu jadi bermerek di dapur mereka – bahkan sepertinya ‘dosa besar’ jika kesucian kuliner yang mengandalkan bahan baku alami digantikan produk kemasan.
Gustatory Tour – alias wisata icip-icip membawa beberapa pemandu acara, selain memanjakan lidah dan mengisi perut, juga menikmati wisata gratis atas nama pekerjaan.
Perilaku makan yang tadinya sekadar cara untuk bertahan hidup, kini mampu mendongkrak industri pariwisata. Promosi menjadikan orang ingin wisata, demi pengalaman lidah yang baru dan seru.
Wisata kuliner sebagaimana kebanyakan orang menyebutnya, akhirnya menjadikan makanan yang juga punya fungsi lain: rekreasi. Bosan dengan makanan yang itu-itu saja, luasnya dunia tanpa dinding saat ini membuat siapa pun bisa keluar dari kejenuhan. Bahkan, akhirnya terjadi kegoyahan eksistensi dan kemapanan.
Martabak manis kini tak cukup terasa manis, hanya dengan bertabur cokelat dan susu kental manis. Warna juga tidak melulu kuning keemasan dengan polesan mentega. Merombak bentuk jadi kotak, berwarna hijau dengan isian selai impor, bahkan bila perlu disisipi buah kering, membuat martabak semakin eksis dan eksotis.
Konstelasi artistik makanan sebagai reka rasa rekreasi lidah akhirnya sekaligus memanjakan aspek visual. Tak elak, teriakan “Tunggu dulu! Jangan dimakan! Belum difoto nih....” bukan lagi hal yang aneh di restoran-restoran.
Beraneka tampilan rupa makanan aneh-aneh – jika tidak mau dibilang sekadar menarik – tidak lagi milik daftar menu, tapi mengisi sebagian besar simpanan gambar ponsel banyak orang.
Akhirnya, seperti yang sudah bisa ditebak – tak jarang makanan menjadi representasi gengsi. Tidak cukup tampilan makanan yang bagus ada di foto, tapi juga nama resto yang tercetak di atas pinggan bergengsinya atau serbet di sebelahnya.
Sama-sama menyajikan menu dimsum atau steak impor, tapi ada branding tertentu yang mendongkrak harga.
Bahkan, ada komunitas atau society tertentu yang mudah ditemukan di sana. Isu-nya bukan lagi makanan buat makan. Melainkan, sarana negosiasi dan pelancar komunikasi pendahulu kontrak atau perjanjian.
Banyak etnik mewarnai kontrak sosial sebagai bagian dari budaya dengan simbolisme makanan. Komunikasi transendental di meja “sesaji” pun sarat dengan berbagai panganan.
Lengketnya ketan dianggap mampu merekatkan silahturahim. Manisnya jadah pasar, seakan merayu para dewa dewi untuk melaporkan hal-hal yang manis-manis saja ke empunya surga.
Tak jarang jajan pasar yang tadinya hanya ditemui di hari-hari pasaran – perayaan maupun peringatan hari-hari penting dalam siklus hidup manusia – akhirnya di jaman serba ada saat ini, juga dengan mudahnya bisa ditemui saat rehat kopi di seminar atau pengganjal perut saat rapat berlangsung.
Gawatnya, tidak lagi sesederhana wujud awalnya seperti waktu di kampung. Kini rasa semakin manis, enak dipandang, warna semakin mentereng bak bianglala, bukan dari hijau nya daun suji atau kuning pucat dari telur. Dan yang pasti: jumlah dan frekuensi makan kian tak terkendali.