Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/06/2016, 08:11 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

KOMPAS.com- Tapian Manulang (40) masih ingat bagaimana diabetes tipe 2 menggerogoti tubuhnya. Kesehatannya terus menurun. Selain tubuh gampang lemas, matanya juga mulai rabun.

“Saat itu Juni 2008, saya tidak bisa berhenti melakukan kebiasan mengonsumsi minuman soda pada malam hari,” ujar Tapian.

Dulu, kata Tapian, ia memiliki kebiasaan menghabiskan 1-2 botol ukuran 1,5 liter minuman soda tiap malam. Namun, tiga bulan melakoni kebiasaan itu, ia mengalami hal yang tidak biasa, yaitu sering buang air kecil.

“Badan juga gampang lemas dan terasa tidak memiliki tenaga. Berat badan yang tadinya 95 kilogram pun turun sampai 85 kilogram,” lanjut dia.

Dari rentetan kejadian itu, Tapian mulai berpikir bahwa ada yang salah dengan tubuhnya. Dia lalu coba melakukan general check-up pada Agustus 2008. Hasilnya, ia dinyatakan mengidap diabetes tipe 2.

“Saya terkejut saat melihat hasilnya. Kadar gula darah mencapai 337 mg/dL,” tutur dia.

Masih kaget dengan hasilnya, Tapian harus berhadapan dengan serentetan saran dokter. Di antaranya, rutin mengonsumsi obat dan makanan rendah gula.

Semakin parah

Sayangnya, karena belum terbiasa, Tapian kerap mangkir dari kewajiban itu. Akibatnya, kadar gula darahnya malah melonjak sampai 480 mg/dL.

Bertahun-tahun lewat, bukan sembuh yang didapat Tapian, melainkan keadaan tubuh yang semakin rentan penyakit. Kondisinya makin parah pada 2014.

“Saya merasa bahwa mata saya semakin rabun. Padahal dosis obat sudah digandakan dibanding saat mulai mengonsumsi obat pertama kali dulu,” ujarnya.

Setelah itu, Tapian berusaha diet maksimal. Bahkan, Tapian mulai menambahkan obat-obatan tradisional, seperti daun seledri, daun salam, beras hitam, ketan hitam, dan juga semut Jepang, dengan harapan bisa sembuh cepat.

“Setelah berupaya seperti itu, kesembuhan tidak juga datang. Pengaruh obat-obatan yang dikonsumsi pun tidak banyak. Kadar gula darah tetap berada di kisaran 280-350 mg/dL. Badan tetap lemas, mata semakin rabun,” tambahnya.

Tak mau menghabiskan waktu lebih banyak lagi, Tapian mulai mengumpulkan informasi untuk menjangkau kesembuhan. Sampai pada akhirnya, ia memutuskan menjalani operasi bypass lambung di Rumah Sakit Guang Zhou pada Maret 2016.

Thinkstock Ilustrasi Diabetes

Keputusan itu bukan serta-merta diambil Tapian. Bertahun-tahun dia setia dengan pengobatan konvensional yang mengharuskannya mengonsumsi obat-obatan secara rutin.

Namun, kenyataannya diabetes terus menghantui. Dari beberapa media, Tapian juga melihat fakta menakutkan.

Data International Diabetes Federation (IDF) pada 2015 menyebutkan, di Indonesia ada lebih dari 10 juta penduduk berusia 20 tahun hingga 79 tahun yang menderita diabetes.

Pada tahun itu, tercatat hampir 185.000 orang Indonesia meninggal karena diabetes. Itu pun, diperkirakan masih ada lebih dari 5 juta penderita diabetes yang tak terdata di luar sana.

“Saya ingat anak-anak saya masih kecil. Maka dari itu, keputusan untuk operasi pun saya ambil,” kenangnya.

Ajaib, setelah menjalani operasi tersebut, kadar gula darah Tapian terus stabil. Dengan begitu, ia bebas dari penyakit komplikasi—termasuk badan lemas dan rabun—yang beberapa tahun belakangan menghantuinya.

(Baca: Diabetes Tipe 2 Bukan Kiamat... Masih Ada Solusinya!)

Operasi bypass lambung

Di dunia medis, operasi yang dijalani Tapian bukanlah hal baru. Awalnya, operasi tersebut dianggap sebagai solusi bagi penderita obesitas. Barulah kemudian hari dibuktikan oleh American Diabetes Association bahwa operasi ini juga dapat menjadi alternatif bagi penderita diabetes tipe 2.

Syarat untuk menjadikannya efektif sebagai alternatif solusi bagi penderita diabetes tipe 2 adalah pasien merupakan orang dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) di atas 35. Untuk orang Asia, angka efektif operasi ini adalah untuk IMT di atas 27,5.

Pada dasarnya, tujuan operasi bypass lambung adalah untuk mengurangi penyerapan makanan di usus. Karena itu, gula dan lemak otomatis menjadi rendah pula. Hal ini yang berdampak pada stabilnya kadar gula darah.

(Baca: "Bypass" Lambung... Mematahkan Mitos Diabetes Tipe 2 Tak Bisa Sembuh)

“Bagian lambung juga dipangkas dari kapasitas 500 mililiter (ml) pada kondisi kosong, menjadi hanya sepertiganya, yaitu 50 ml,” ujar ahli bedah dari Rumah Sakit Jinshazhou-Kedokteran Universitas Guangzhou, China Wu Liang Ping.

Thinkstock Ilustrasi operasi bypass lambung.

Di China, salah satu rumah sakit yang memakai metode itu sebagai standar pengobatan pada diabetes tipe 2 adalah Asia Pacific Bariatric and Diabetes Center of Jinshazhou University. Melalui pengobatanminimal invasif laparoskopi, metode operasi bypass lambung sudah menjadi pilihan banyak pasien.

Sayangnya, keterbatasan informasi kerap menjadi penyebab calon pasien tidak segera membuat keputusan. Maka dari itu, untuk menjembatani informasi, banyak layanan konsultasi kesehatan yang sudah memfasilitasi kebutuhan itu.

Di antara konsultan itu adalah Norgen Health, salah satu jasa konsultasi pasien asal Indonesia yang mau berobat ke China. Dengan sarana konsultasi terlebih dahulu, pasien bisa memilih cara apa yang paling tepat untuk menangani penyakitnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com