JAKARTA, KOMPAS — Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI memetakan rantai distribusi vaksin palsu untuk menemukan jumlah dan lokasi para pengguna. Hasil penelusuran menunjukkan, empat rumah sakit yang diduga memakai vaksin palsu berlokasi di Bekasi, Jawa Barat.
”Kami memetakan rantai distribusi sesuai yang dioperasikan para tersangka. Kami ingin tahu pengguna akhir vaksin itu agar kami, Kementerian Kesehatan, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan mengetahui wilayah mana perlu ditindaklanjuti,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Agung Setya, di Jakarta, Rabu (29/6).
Kini, penyidik memiliki data jalur distribusi vaksin palsu, dilanjutkan identifikasi rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain yang pernah memesan vaksin dari empat kelompok produsen. Targetnya, identitas bayi penerima vaksin diketahui.
”Meski sulit, kami harus menemukan identitas bayi itu. Kami ingin memastikan anak-anak mendapat mutu kesehatan baik,” ujarnya.
Pihaknya berkoordinasi dengan Kemenkes untuk mendata ulang stok vaksin di RS. Pihaknya tak langsung menarik vaksin yang diduga palsu dari pasaran karena ada penilaian BPOM.
Ada empat RS yang jadi tempat peredaran vaksin palsu di Bekasi, tapi ia menolak merinci nama RS itu. Dari keterangan 16 tersangka, vaksin palsu beredar di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Medan (Sumatera Utara), Padang (Sumatera Barat), dan Aceh.
”Penyidikan kami terstruktur, ilmiah, dan pasti sehingga jika ketemu RS, perlu diurai untuk temukan RS lain,” ucap Agung.
Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto menambahkan, nama RS akan diungkap jika penyidikan selesai. Pengungkapan RS dikhawatirkan mengganggu penyidikan terkait pengumpulan barang bukti dan keterlibatan oknum RS. Misalnya, produsen vaksin palsu mendapat botol kemasan vaksin dari limbah di rumah sakit.
Pengecekan
Sementara itu, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) sejumlah daerah menelusuri adanya vaksin palsu pada fasilitas kesehatan. Di Aceh, BBPOM menemukan vaksin polio oral kedaluwarsa di RS Montella, Meulaboh, Aceh Barat.
Di Medan, hukuman bagi pemalsu obat ringan sehingga tak ada efek jera. Misalnya, DS, warga Medan Tembung, Medan, yang memproduksi obat diphenhydramine jadi serum anti tetanus dan vaksin tetanus pada 2014 hanya divonis dua tahun. Padahal, sesuai Undang-Undang Kesehatan, DS bisa divonis maksimal 15 tahun dan denda Rp 1,5 miliar.
Kepala BBPOM Medan Alibata Harahap, Rabu (29/6), mengatakan, selaku penyidik PPNS, kewenangannya hanya sampai P21. Tersangka, barang bukti, dan berita acara pemeriksaan diserahkan ke kepolisian dan kejaksaan. Kewenangan berikutnya ada di kejaksaan dan pengadilan.
Setelah kasus itu, BBPOM masih menemukan lagi distributor serum antitetanus (ATS) dan vaksin tetanus (TT) palsu. Obat itu juga dibuat dari diphenhydramine yang labelnya diganti seperti kasus sebelumnya. Harga diphenhydramine satu ampul hanya Rp 2.000. Setelah labelnya diganti menjadi ATS, harga naik bisa mencapai Rp 150.000 per ampul.
BPOM Semarang menemukan BCG (bacillus clamette guerin) terindikasi palsu di dua klinik di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Menurut Kepala BBPOM Semarang Endang Pudjiatmi, pada vaksin BCG terindikasi palsu tak ada izin edar dan waktu kedaluwarsa. Jika menurut hasil uji laboratorium di Jakarta vaksin itu palsu, BPOM merekomendasikan klinik dijatuhi sanksi berat.