JAKARTA, KOMPAS.com - Adanya wacana skema ARV (antiretroviral) berbayar dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko putus obat pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Selama ini, ARV diberikan gratis oleh pemerintah.
"Ditakutkan risiko putus obat, terutama untuk mereka yang sudah biasa mendapat gratis di level yang kurang mampu," kata Ketua Komite Program Yayasan AIDS, Sarsanto W Sarwono di Jakarta, Kamis (12/1/2016).
Penyediaan obat ARV memang mendapat bantuan dari Global Fund. Menurut Sarsanto, adanya ARV yang berbayar merupakan kemunduran bagi pemerintah. Harapannya, ARV bisa masuk anggaran Kementerian Kesehatan dan tetap diberikan secara gratis.
ARV merupakan obat yang ditemukan untuk menghentikan replikasi virus HIV, bukan membunuh virus. Sampai saat ini, ARV adalah satu-satunya obat yang bisa digunakan agar virus tidak berkembang di tubuh pasien.
Dengan rutin konsumsi ARV, banyaknya virus bisa ditekan dan menurunkan risiko penularan ke orang lain.
ARV berbayar dapat membebani ekonomi pasien, karena obat ini harus diminum seumur hidup. Jika putus obat, pasien bisa mengalami penurunan daya tahan tubuh dan berisiko terinfeksi penyakit hingga kematian.
Sementara itu, Jaringan Indonesia Positif (JIP) meminta pemerintah menghentikan wacana ARV berbayar, karena dapat berdampak pada kondisi kesehatan dan perekonomian ODHA.
Menurut JIP, ARV bersubsidi yang selama ini diterapkan pun belum optimal, misalnya persediaan obat yang terkadang menipis.
Dikhawatirkan juga, nantinya ada perbedaan kualitas dan pelayanan antara ARV bersubsidi dan ARV berbayar. Hingga akhirnya dapat mendorong ODHA menggunakan ARV berbayar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.