Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/03/2017, 14:15 WIB

Enam belas batang rokok filter dan segelas teh menemani Tosim (53), nelayan kerang hijau di muara Desa Mertasinga, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (4/3) siang. Dalam sejam, tiga batang rokok menjadi asap. ”Laut lagi sepi, Mas. Jadi, enggak melaut,” ucapnya sambil mengembuskan asap rokok.

Tosim tidak sendiri. Puluhan kapal nelayan berukuran di bawah 5 gros ton yang ditambatkan di sepanjang muara menandakan banyak nelayan lain yang juga tak melaut. Nelayan di pesisir utara Jabar tengah paceklik, nyaris tidak ada tangkapan ikan di laut selama masa peralihan musim baratan atau menjelang kemarau saat ini.

Biasanya jika sedang beruntung, dalam lima bulan nelayan di pesisir utara Jabar mampu memperoleh 2 ton kerang hijau. Dengan harga jual Rp 5.000 per kilogram, mereka memperoleh penghasilan Rp 10 juta dalam lima bulan atau rata-rata Rp 2 juta per bulan. Namun, lima bulan terakhir, Tosim hanya mendapatkan 1 kuintal kerang senilai Rp 500.000 atau Rp 100.000 per bulan.

Apabila memaksakan melaut, nelayan pasti merugi karena biaya perbekalan saja Rp 300.000 per hari. Bekal itu, antara lain, untuk pembelian solar, nasi, dan rokok. Rokok menjadi bekal wajib bagi nelayan melaut, anggaran terbesar setelah solar. Dengan enam nelayan yang berangkat setiap kali melaut, maka dibutuhkan enam bungkus rokok seharga Rp 90.000.

Karena melaut sedang tidak menguntungkan, Tosim pun sementara beralih menjadi kuli dengan penghasilan Rp 50.000 per hari. Dari penghasilannya itu, Rp 15.000 dibelikan rokok. Sisanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan makan keluarganya sehari-hari dan kebutuhan lainnya. Dalam seminggu, Tosim menghabiskan minimal Rp 105.000 untuk membeli rokok, lebih besar daripada biaya listrik di rumahnya yang Rp 50.000 per bulan.

Ayah tiga anak itu mengaku tahu dengan ancaman kesehatan dan beban biaya jika ia terus merokok. Ia juga mengaku tidak mampu menabung gara-gara rokok. Rumah yang ditempati Tosim dan keluarganya saat ini adalah hasil kerja anaknya, Caslina, saat bekerja di Taiwan, Malaysia, dan Singapura.

Namun, sesulit apa pun kondisi keuangannya, belanja untuk rokok selalu mendapat prioritas Tosim. ”Kalau enggak ngudud (merokok), rasanya ada yang hilang, lemas. Lebih baik kekurangan makan daripada kekurangan rokok,” ujar Tosim yang mengaku jadi perokok sejak lebih dari 20 tahun lalu.

Untuk pendidikan anaknya, Tosim tidak terlalu pusing karena dua anaknya yang tamat sekolah menengah atas dan seorang tamatan sekolah menengah pertama sudah bisa bekerja. Anak keduanya yang tamatan SMP ikut menjadi nelayan. ”Apalagi, sekarang sekolah banyak yang gratis. Kalau sakit juga, kan, ada kartunya,” ujar penerima Kartu Indonesia Sehat (KIS) ini.

KOMPAS.COM/AMIR SODIKIN Seorang pekerja sedang memproses pembuatan rokok kretek.
Menyesatkan

Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan, sikap yang hanya mengandalkan Kartu Indonesia Pintar untuk anak bersekolah tanpa memberikan makanan yang bergizi kepada keluarga dan KIS untuk berobat penyakit terkait rokok menyesatkan.

Seorang anak tetap perlu asupan nutrisi yang baik agar dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Dengan begitu, ia bisa menjadi generasi berkualitas.
Akan tetapi, seseorang yang sudah kecanduan rokok akan sulit berhenti.

Hal ini yang menyebabkan perokok rela mengorbankan kebutuhan pokoknya yang lain asal masih bisa membeli rokok. Padahal, uang untuk membeli rokok bisa digunakan untuk membeli makanan bergizi, keperluan sekolah, atau hal lain yang lebih bermanfaat.

Ponidi (65), petani tembakau di Kelurahan Purworejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, juga mengalokasikan lahannya yang seluas 500 meter persegi untuk ditanami tembakau. Hasilnya, 30-40 kilogram tembakau untuk persediaan merokok selama setahun.

Untuk memenuhi keperluan sehari-hari, Ponidi menggarap 4.000 meter persegi lahan sewaan dan menjadi buruh dengan upah Rp 50.000 per hari.

Merokok selain berdampak buruk terhadap kesehatan perokok, juga berdampak buruk terhadap mereka yang menghirup asap rokok orang lain. Penjual mi ayam di dekat Stasiun Mangga Besar, Jakarta, Zainudin (45), misalnya, divonis kanker laring pada 1995 saat berusia 23 tahun. Padahal, katanya, dirinya tidak merokok. Ia terpapar asap rokok dari ayahnya yang perokok berat dan teman-temannya.

”Keluarga kesusahan saat itu karena biaya operasi sangat tinggi, sementara penghasilan ayah sebagai sopir tidak seberapa. Sawah warisan nenek terpaksa dijual ditambah ngutang sana-sini,” tutur anak kelima dari delapan bersaudara itu.
Pita suara Zainudin akhirnya diangkat melalui operasi.

Seusai itu, Zainudin depresi. Kehilangan kemampuan bicara saat usia 23 tahun bukan perkara mudah untuk diterima dan dijalani. Kepercayaan dirinya turun drastis. Hampir enam bulan ia mengurung diri di kamar.

Kebiasaan merokok tidak hanya berdampak terhadap kesehatan semata, tetapi juga bisa memiliki pengaruh buruk pada status gizi keluarga, tingkat pendidikan, bahkan tingkat kemiskinan.

Dalam pembukaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya gizi keluarga dibandingkan dengan rokok. ”Jangan sampai ada uang dipakai untuk beli rokok dan tidak dipakai untuk menambah gizi anak,” ujarnya.

Namun, yang perlu disadari adalah pesan itu harus didukung kebijakan pengendalian konsumsi rokok yang ketat. Bukan dengan melarang industri memproduksi rokok, melarang petani menanam tembakau, atau melarang orang merokok. melainkan dengan mengendalikan konsumsi rokok. (IKI/DNE/EGI/ADH)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Maret 2017, di halaman 1 dengan judul "Kalau Sakit, Kan, Ada Kartunya...".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau