Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah Anak akan Bercerita Jika Alami Kekerasan Seksual?

Kompas.com - 25/03/2017, 14:00 WIB

Kasus kedua menyangkut anak yang jauh lebih kecil, yang ibunya marah-marah di depan anak, menyebut sang anak bandel tidak bisa diatur, ”salah sendiri sudah dibilang jangan main jauh-jauh masih saja tidak nurut. Saya tidak mau lagi ngurus, lebih baik mengurus adiknya yang ’belum rusak’!”

Kasus ketiga menyangkut anak perempuan yang mengalami pelecehan seksual dari pemuda yang kos di rumahnya. Sang ayah terlihat sangat terpukul, sedih, banyak menangis saat konseling, mengatakan, ”Lebih baik kaki atau tangan saya dipotong saja daripada melihat anak saya seperti ini. Anak saya sudah dirusak, tidak punya masa depan lagi.”

Kasus keempat berbeda lagi. Orangtua yang merasa syok jadi demikian melindungi dan memanjakan anak. Anak selalu dituruti permintaannya, diistimewakan dibandingkan dengan saudara- saudara kandungnya, sehingga menjadi sangat sulit diatur. Bahkan, anak meminta orangtua membayarnya apabila pada malam hari ia masih ingin bermain, sementara orangtuanya menyuruh ia tidur. Dan orangtua memberikan yang diminta anak!

Pendampingan kepada orangtua
Bayangkan apa yang dipikirkan anak—dalam berbagai keterbatasan kemampuan berpikir mereka, dalam mencerna berbagai hal yang terjadi setelah kejadian dan setelah mengungkapkan apa yang dialami. Mereka terkejut karena ingin dimengerti, tetapi ceritanya justru membuat marah.

Kepercayaan kepada orang dewasa dan orang lain rusak karena orang dewasa (pelaku) memperlakukannya secara buruk dan orangtua tidak dapat diharapkan memberikan perlindungan.

Mungkin anak merasa diri buruk dan ”rusak” (seperti orangtua dan masyarakat melihat mereka), tidak lagi punya masa depan, membuat malu dan menambah persoalan dalam keluarga. Anak merasa bingung dan menjadi sulit menerima diri sendiri. Atau sebaliknya, kebingungannya membuatnya sulit mengelola emosi, jadi penuntut, dan memupuk kebiasaan bersikap manipulatif dalam hubungan dengan orang lain.

Ketidakmampuan orangtua memberikan penguatan kepada anak sering merefleksikan kondisi dan persoalan mereka sendiri. Bisa jadi orangtua sudah sangat sibuk atau tertekan oleh masalahnya sendiri, misalnya sulit mencari uang, menghadapi banyak hambatan di tempat kerja, atau hidup dengan pasangan yang kurang bertanggung jawab atau tidak dapat saling mendukung.

Dalam persoalan incest, situasi menjadi makin kompleks karena barangkali ada kekerasan terhadap pasangan, atau ibu justru lebih ingin menyelamatkan suami daripada memberikan dukungan kepada anak.

Psikologi menjadi bagian kecil dari tim kerja lintas disiplin untuk melakukan prevensi dan intervensi. Sebagian besar orangtua menginginkan yang terbaik bagi anak, tetapi belum tentu mengetahui caranya. Lebih lagi, di masa kini orangtua menghadapi berbagai tantangan yang tidak dihadapi di masa-masa sebelumnya.

Pekerja kesehatan mental juga perlu mendampingi orangtua untuk memastikan bahwa orangtua berperan efektif mendampingi anak. Yang pasti, apabila kita mendampingi anak dengan kasih sayang dan secara tepat, anak akan tetap memiliki masa depan yang cerah dan bahagia. Semoga.


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Maret 2017, di halaman 25 dengan judul "Apakah Anak Akan Bercerita?".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau