Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup di Negara Tropis Bikin Masyarakat Indonesia Rentan Terkena DBD?

Kompas.com - 10/12/2019, 19:00 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penyakit demam berdarah dengue (DBD) sering menimbulkan gejala yang mengejutkan. Pasalnya, demam yang dirasakan oleh pengidap penyakit yang disebabkan oleh virus dengue ini bisa sewaktu-waktu hilang.

Ada istilah Siklus Pelana Kuda untuk memudahkan masyarakat dalam mengenal grafik naik-turun panas yang dialami oleh penderita DBD. Siklus tersebut terlihat dalam tiga fase berikut:

Fase demam: hari ke 1-3

Demam tinggi antara 39-41 derajat celsius bisa menjadi tanda-tanda awal seseorang menderita DBD.

Demam ini biasanya berlangsung selama 3-4 hari dan sulit direda dengan obat penurun panas biasa.

Baca juga: Kenali Siklus Pelana Kuda pada Penderita DBD

Fase kritis: hari 3-5

Fase ini ditandai dengan demam yang mulai mereda. Banyak penderita yang salah kaprah menanggapi suhu tubuh yang kembali normal hingga menganggap sembuh.

Padahal, penderita ini sedang memasuki masa di mana risiko tertinggi dari DBD dapat terjadi.

Fase penyembuhan: hari 6-7

Suhu tubuh kembali naik menjadi tanda fase kritis telah berakhir dan beranjak ke fase penyembuhan. Dalam fase penyembuhan, denyut nadi menguat, pendarahan berhenti, dan terjadinya perbaikan fungsi tubuh lainnya.

Bahaya mengintai penduduk negara tropis

Bagi masyarakat Indonesia, penyakit DBD ini benar-benar harus diwaspadai. Pasalnya, Indonesia termasuk negara tropis.

Melansir dari Mayo clinic, tinggal atau bepergian ke daerah tropis dan subtropis meningkatkan risiko terpapar virus dengue.

Indonesia termasuk negara di Asia Tenggara yang disebutkan Mayo clinic sebagai daerah berisiko tinggi penularan penyakit DBD bersama Kepulauan Pasifik Barat, Amerika Latin dan Karibia.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat temuan kasus DBD terbanyak di Indonesia hingga awal tahun ini berada di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Kupang.

Jumlah kasus secara nasional yang tercatat dalam situs resmi Kemenkes hingga tanggal 3 Februari 2019 yakni mencapai sebanyak 16.692 kasus dengan 169 orang meninggal dunia.

Jumlah itu naik dari sebelumnya. Kemenkes RI mencatat pada 29 Januari 2019, jumlah kasus DBD mencapai 13.683 dengan jumlah meninggal dunia 133 jiwa.

Apa yang harus dilakukan?

Melihat jumlah kasus tersebut, tentu membuat banyak masyarakat merasa was-was. Lalu, yang jadi pertanyaan, apa yang bisa kita lakukan untuk menghindari terjangkit penyakit DBD ini?

Kemenkes RI sendiri menekankan cara yang paling efektif untuk melawan DBD adalah dengan melakukan gerakan Pemberatasan Sarang Nyamuk (PSN). 

PSN dapat diwujudkan dalam program 3M, yakni menutup tempat penampungan air bersih, menguras tempat penampungan air bersih, dan mendaur ulang atau memusnahkan barang-barang bekas.

Baca juga: Musim Hujan Segera Tiba, Kenali Gejala DBD pada Anak

Khusus dalam perkara penampungan air bersih, Dr Syahribulan, M.Si., peneliti nyamuk dari Departemen Biologi Universitas Hasanuddin pada kesempatan wawancara dengan Kompas.com menegaskan bahwa benda ini dapat menimbulkan masalah baru.

Menurutnya, tempat penampungan air justru dapat membuat nyamuk Aedes aegypti (pembawa virus Dengue) makin berkembang biak.

Oleh sebab itu, dia menganjurkan masyarakat tidak membuat tempat penampungan air karena bisa menjadi tempat bagi nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur mereka. 

"Seharusnya yang kita lakukan adalah menghilangkan tempat-tempat air yang bisa menjadi tempat (nyamuk Aedes aegypti) berkembang biak," ujarnya via telepon kepada Kompas.com, Selasa (29/1/2019).

Syahribulan menjelaskan nyamuk Aedes aegypti sebetulnya tidak meletakkan seluruh telurnya sekaligus, melainkan satu per satu.

Selain melakukan langkah 3 M, masyarakat juga diimbau untuk menjaga perilaku hidup bersih dan sehat.

Tak hanya itu, masyarakat juga sebisa mungkin menghindari gigitan nyamuk seperti menggunakan kelambu dan losion pengusir nyamuk untuk tidur, serta menanam tanaman pengusir nyamuk.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com