KOMPAS.com - Banyak remaja sekolah belum bisa mencapai keterampilan motorik yang seharusnya sudah dimiliki oleh anak seusia mereka.
Remaja ini kemudian digambarkan sebagai anak “lamban” karena mempunyai kesulitan dengan tulisan tangan ataupun dengan kemandirian.
Dokter Spesialis Anak anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Jenni K. Daliana, Sp.A (K), memandang keadaan tersebut sering luput dari pengamatan orangtua.
Para orangtua tidak mengenal kondisi itu sebagai masalah medis dan hanya menganggapnya sebagai “anak yang malas atau ceroboh”.
Menurut Jenni, gejala lamban atau canggung pada remaja merupakan kondisi normal.
Baca juga: Pahami 3 Penyebab Anak Susah Makan dan Cara Mengatasinya
Gejala itu merupakan lanjutan dari gangguan keterampilan motorik atau alat gerak yang sudah dialami anak sejak duduk di sekolah dasar.
Dia menerangkan gejala canggung dikenal dengan sebutan gangguan perkembangan koordinasi (GPK) atau developmental coordination disorder (DCD).
Jenni berpendapat gejala lamban karena GPK perlu mendapat perhatian khusus, mengingat masa remaja adalah masa transisi atau masa sulit yang harus dialami tiap anak.
Kesulitan remaja ini akan bertambah banyak apabila sudah mempunyai gangguan tertentu sejak usia sekolah dasar.
Menurut Jenni dalam artikelnya yang terbit di laman resmi IDAI (12/1/2018), bukan hanya orangtua, para dokter juga kurang memahami kondisi GPK.
Para orangtua maupun para dokter lebih familiar dengan attention deficit hyperavtive disorder (ADHD) atau kesulitan belajar ketika membahas soal gangguan perkembangan anak.
Jenni membeberkan hasil sebuah survei yang dilakukan terhadap 255 dokter anak, 501 orangtua dan 202 guru di luar negeri.
Baca juga: Hati-hati Orangtua, Marah pada Anak Sebabkan 11 Dampak Fatal
Hasilnya adalah, hanya 41 persen dokter anak yang mengenal GPK, sementara 99 persen dokter anak mengenal ADHD dan 93 persen mengenal kesulitan belajar.
Sedangkan diketahui hanya 6 persen guru sekolah atau orangtua yang mengenal GPK, sementara 74 persen telah mengetahui soal ADHD.
Meski belum ada survei seperti itu, dia yakin di Indonesia kondisinya tidak berbeda.
GPK bisa juga dipahami sebagai istilah pengganti sindrom anak lamban (clumsy child syndrome).
Istilah itu digunakan untuk menggambarkan anak dengan inteligensia normal, tanpa kelainan medis yang teridentifikasi, namun mempunyai gangguan koordinasi yang berpengaruh pada performa akademik dan sosialisasi.
Menurut Jenni, penelitian telah membuktikan bahwa pada umumnya kelambanan ini cenderung dapat menetap sampai dewasa.
Dia memandang remaja dengan GPK sudah sewajarnya mendapat perhatian dari para orangtua dan guru.
"Mereka umumnya berisiko mengalami kesulitan belajar, masalah emosi dan perilaku," jelas Jenni dalam tulisannya.
Perlu dilakukan intervensi dari luar untuk membantu anak dengan GPK.
Baca juga: Benarkah Pola Asuh Tentukan Kepribadian Anak Sulung, Tengah, dan Bungsu bak Film NKCTHI?
Menurut Jenni, terdapat bukti kuat bahwa anak yang mendapat intervensi akan menjadi lebih baik daripada yang tidak diintervensi.
Intervensi yang efektif dilakukan, yakni dengan cara pendekatan keterampilan fungsional.
Di mana, para remaja yang mengalami masalah canggung atau lambat itu perlu diajari atau dicontohkan berbagai kegiatan sehari-hari yang harus mampu mereka lakukan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.