Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/10/2021, 15:00 WIB
Xena Olivia,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kesehatan mental beberapa waktu belakang menjadi hal yang cukup ramai dibicarakan. Ini karena seringkali kesejahteraan mental menjadi kondisi yang diabaikan banyak orang, termasuk atlet.

Seperti yang kita ketahui, atlet selalu dituntut untuk memiliki ketahanan fisik yang kuat. Hal ini tentu saja agar siap melalukan pertandingan.

Namun tak hanya ketahanan fisik, dibutuhkan ketahanan dan kesehatan mental secara seimbang bagi para atlet.

Baca juga: Memahami Pentingnya Kesehatan Mental untuk Atlet

Terutama, bagi mereka yang sedang bersiap untuk bertanding.

Itulah sebabnya sebaiknya atlet memiliki pendamping psikolog agar dapat menjalankan konseling dan terapi saat menjalankan pelatihan.

Butuh pendamping psikologis

Saat ini, tengah berlangsung Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021 yang diselenggarakan di Lukas Enembe Stadium, Papua pada 2 Oktober hingga 15 Oktober mendatang.

Dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19, Ketua Umum KONI Pusat Letnan Jenderal TNI (Purn.) Marciano Norman mengungkapkan akan menerapkan sistem bubble layaknya protokol di Olimpiade Tokyo 2020 silam.

Sistem ini melarang seluruh peserta PON Papua 2021 untuk beraktivitas di luar kegiatan yang telah direncanakan. Peserta yang terlibat dalam bubble juga dilarang untuk berinteraksi dengan orang lain di luar bubble.

Pada konferensi pers virtual, Rabu (15/09/21), Duta Besar Republik Indonesia untuk Jepang Ir. Heri Akhmadi berpendapat bahwa sistem bubble dapat membuat para atlet merasa stres.

Heri mengungkapkan harapannya agar KONI dapat menyediakan pendampingan psikiater atau psikolog bagi para atlet yang akan bertanding.

“Sesungguhnya dalam lingkungan yang bubble ini, para atlet sangat stres sehingga pada dasarnya akan membutuhkan pendampingan dari psikiater atau psikolog,” tutur Heri.

Baca juga: Kenali Apa itu Body Shaming dan Efek Buruknya Pada Kesehatan Mental

Atlet juga manusia, rentan masalah mental

Menurut anggota tim psikologi bidang IPTEK Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Steven Halim, M. Psi., atlet rentan terkena gejala-gejala gangguan mental.

“Kita berolahraga supaya bisa sehat jiwa. Kalau atlet, olahraga itu profesi mereka. Jadi kalau untuk mem-balancing justru lebih PR (pekerjaan rumah),” ujar Steven saat diwawancara Kompas.com, Jumat (01/10/2021).

Steven mengungkapkan bahwa wajar jika para atlet merasa cemas.

"Stres, cemas, dan emosi-emosi yang terpendam adalah masalah mental sederhana yang perlu direspons secara adaptif sebelum menjadi lebih besar atau berkelanjutan," kata Steven.

“Saya ngomong ke atlet-atlet bahwa PON ini ajang Anda mengulang best time, best performance saat latihan. Mereka bisa memanipulasi pikirannya agar bisa tetap fokus terhadap tugas mereka,” lanjutnya.

Tak hanya sekedar pendampingan psikolog dan psikiater, dibutuhkan juga dukungan moral dari keluarga dan orang-orang terdekat.

“Pastikan mereka (keluarga) menerima atlet sebagai rekan, anggota mereka tanpa syarat. Meskipun Anda kalah atau menang, kami tetap sayang sama Anda tanpa kurang suatu apapun,” jelasnya.

Sama halnya jika hasil yang didapatkan sang atlet tidak sesuai ekspektasi.

Steven mengungkapkan bahwa penting agar atlet tersebut melampiaskan perasaannya hingga tuntas.

“Biarkan mereka menangis. Proses yang tidak boleh dilewatkan oleh pendamping juga make sure mereka benar-benar menangis. Melampiaskan amarahnya dengan cara yang tidak merugikan siapa pun,” kata Steven.

Baca juga: Panduan Jaga Kesehatan Mental Selama Pandemi dari Kemenkes RI

“Proses tersebut harus dilalui agar mereka siap untuk periode selanjutnya. Misalkan diabaikan, (perasaan itu) bisa jadi muncul di kemudian hari,” sambung Steven.

Kesadaran masyarakat dan pemerintah

Terkait kesadaran masyarakat soal kesehatan mental atlet, Steven berpendapat bahwa terdapat tiga macam masyarakat dalam menanggapi hal ini.

“Ada yang cuek, ada yang cukup dewasa kalau profesi atlet itu emang enggak gampang. Apapun hasilnya bisa nerima dan enggak judgemental,” ujar Steven.

“Ada juga masyarakat yang enggak tahu capeknya dua sesi, tiga sesi. Sekali compete ternyata hanya 10 detik dan mereka kalah,” tambahnya.

Steven menjelaskan bahwa mengukur juara bukan semata-mata medali.

Misalnya, atlet yang menampilkan best time saat bertanding ketimbang saat performa mereka di latihan.

Sementara itu, terdapat beberapa hal yang dapat diupayakan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat soal pentingnya kesehatan mental atlet.

“Pejabat-pejabat berwenang, upayakan menciptakan iklim persaingan dan olahraga yang fair itu penting banget,” katanya.

Selain itu, Steven juga mengungkapkan bahwa dibutuhkan fasilitas olahraga yang lebih memadai bagi beberapa cabang olahraga (cabor) tertentu.

“Fasilitas olahraga penting banget. Contohnya di salah satu cabor yang numpang di salah satu pusat keramaian untuk latihan. Ketika pusat keramaian itu ada event, mereka enggak latihan,” pungkasnya.

Baca juga: 5 Kata Toxic Positivy yang Berbahaya untuk Kesehatan Mental

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com