Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dikdik Kodarusman
Dokter RSUD Majalengka

Dokter, peminat kajian autofagi. Saat ini bekerja di RSUD Majalengka, Jawa Barat

Manusia merupakan Sebuah Sistem

Kompas.com - 21/07/2022, 15:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENGALAMI sakit berat dan melalui masa sakit merupakan sebuah pengalaman yang berharga. Setidaknya ada pembuktian dari teori-teori yang pernah kita pelajari sebelumnya. Namun banyak hal yang juga tidak dipahami.

Hal itu memicu untuk belajar kembali dari berbagai sumber. Syukur kita hidup di masa perangkat digital yang dengan begitu mudah dapat membantu kita belajar. Cara belajar kita jadi berbeda dengan cara belajar di masa pendidikan. Jika dahulu belajar untuk bisa melalui tahapan dalam masa pendidikan, saat ini belajar untuk memperoleh jawaban dari setiap masalah yang tengah dihadapi.

Dua pendekatan cara belajar yang berbeda. Yang pertama fokus pada materi pembelajaran. Satu per satu materi pembelajaran dikupas dan dipelajari. Sedangkan cara kedua fokus pada masalah, sehingga materi pembelajaran yang harus dipelajari tidak fokus. Loncat ke berbagai materi yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi.

Baca juga: Gangguan Metabolisme

Cara pertama memang sangat ideal di lembaga pendidikan. Namun seringkali tidak bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Lantaran masalah kehidupan tidak linear seperti materi kurikulum. Masalah kehidupan seringkali dipengaruhi berbagai faktor yang saling berhubungan.

Cara belajar kedua, memang sangat tepat dalam menghadapi masalah nyata dalam kehidupan. Namun tidak efektif dalam proses pembelajaran. Waktu yang dibutuhkan untuk belajar dengan cara ini sangat lama. Belum lagi jika bahan pembelajarannya tidak tersedia.

Inilah yang dihadapi dalam dunia kedokteran. Antara kebutuhan untuk memahami persoalan dan memenuhi kebutuhan akan tenaga dokter. Maka tak heran untuk menjembatani hal tersebut dibuat jenjang pendidikan berkelanjutan. Sayangnya, lagi-lagi karena masalah waktu, pendidikan lanjutan tetap berfokus pada materi pembelajaran, bukan pada masalah. Akibatnya dibuatlah pembagian pendidikan yang sifatnya parsial.

Cara berfikir parsial ini tidak hanya menimpa para praktisi bahkan juga peneliti. Tak heran ketika bicara tentang suatu masalah, antara satu keahlian dengan keahlian seolah tidak terhubung.

Atas nama penghormatan profesi seorang dokter ahli saraf tidak akan bicara tentang vasopresin karena itu sudah jadi garapan ahli hipertensi. Padahal pelepasan vasopresin sangat dipengaruhi oleh hipotalamus, salah satu bagian otak yang mengatur pelepasan vasopresin.

Begitu juga dengan pelepasan vasopresin yang dipengaruhi oleh peningkatan kadar glukosa darah. Tidak ada yang berani mengklaim wilayah itu. Apakah ahli endokrin atau ahli hipertensi?

Hal itu yang jadi kesulitan dalam menjelaskan autofagi. Tidak heran, berkali-kali tanggapan dari sejawat justru mengatakan autofagi sebagai terapi alternatif. Padahal sudah jelas teori-teori yang mendukung prinsip autofagi sudah establish. Sudah diakui keabsahan oleh dunia kedokteran. Autofagi bukan terapi alternatif. Pemahamannya didukung teori yang mapan dalam dunia kedokteran.

Pemahaman dasar tentang metabolisme energi adalah yang utama. Semuanya berawal dari sana. Semuanya terkait dengan metabolisme energi. Apapun yang terjadi dengan tubub manusia selalu diawali dengan metabolisme energi. Tepat tidaknya respons tubuh terhadap stimulus dari luar tergantung ketersediaan energi. Energi yang berlebih membuat tubuh seringkali merespons dengan tidak efektif. Sebaliknya kekurangan energi juga mengakibatkan respons yang lemah, tidak adekuat.

Baca juga: 5 Trik untuk Dongrak Metabolisme Tubuh

Ketersediaan energi yang sesuai membuat tubuh terlatih bertindak efisien. Tidak boros juga tidak kekurangan. Hal yang paling jelas terlihat di jaringan saraf. Keberlimpahan glukosa mengakibatkan sintesa asetil kolin juga berlimpah. Asetil kolin adalah neurotransmitter yang berperan dalam proses berfikir. Efektif tidaknya pelepasan asetil kolin tergantung ketersediaan glukosa.

Ada satu komunitas yang menuduh dokter gila jika menghubungkan kelainan diabetes dengan kesehatan mental. Padahal sangat erat hubungan ketersediaan glukosa yang berlebih dengan pembentukan asetilkolin. Pelepasan asetil kolin yang sporadis tentu saja membuat seseorang sulit berkonsentrasi. Sebaliknya pembatasan asupan glukosa ke jaringan saraf memicu terjadinya efisiensi.

Hal inilah yang mendasari pemberian obat anti diabetes untuk penderita gangguan jiwa dan berhasil. Hal itu dilakukan oleh seorang dokter berkebangsaan Filipina di tahun 1950-an. Peristiwa itu tercatat dalam buku jurnal kementerian sains Filipina terbitan tahun 2009.

Penggunaan obat antidiabetes juga saya lakukan terhadap seorang anak yang memiliki gangguan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder). Terbukti anak tersebut menjadi lebih tenang dan mampu berinteraksi positif dengan orang tuanya. Meski hal ini pernah dibantah oleh sahabat saya, seorang psikiater. Namun teori dan bukti terapi membuatnya terdiam.

Hal ini yang menguatkan keyakinan saya akan satu hal. Manusia bukanlah sebuah mesin mekanik. Manusia adalah sebuah sistem yang memiliki berbagai subsistem yang saling berkaitan. Kaitan yang digerakkan oleh energi.

Energilah yang menghubungkan semua sub sistem tersebut. Energi pula yang menghubungkan sistem yang bernama manusia dengan sistem di atasnya yang lebih besar. Semesta. Salam, semoga menjadi inspirasi hidup sehat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau