BELUM lagi usai dengan pandemi Covid-19, dunia sudah dikejutkan dengan wabah baru, yaitu hepatitis non-spesifik etiologi berat pada anak. Wabah ini pertama kali ditemukan di Skotlandia, sehingga wawasan tentang penyakit ini juga berdasarkan laporan tersebut.
Meski di Indonesia kasus ini sudah dilaporkan, namun pemahaman klinis tetap berdasarkan laporan dari luar negeri. Karena itu, ada beberapa sejawat yang meminta mengulasnya berdasarkan mekanisme autofagi.
Keluhan atas penyakit ini disebut sebagai non-spesifik etiologi karena penyebab utamanya belum diketahui. Para kelompok antivaksin segera menuduh keluhan tersebut berasal dari pemberian vaksin. Namun hal ini dengan mudah dapat dibantah karena jumlahnya jauh sangat sedikit dibandingkan penerima vaksin itu sendiri.
Baca juga: WHO: 35 Negara Laporkan Dugaan Kasus Hepatitis Akut Misterius Anak
Beberapa laporan dari Inggris dan Amerika Serikat (AS) juga menyebut keterlibatan infeksi SARS Cov dan Adenovirus, bukan dari vaksin itu sendiri. Padahal gejala klinisnya sama. Jadi tidak tepat jika menuduh vaksinasi sebagai penyebabnya.
Ada perbedaan gejala yang mencolok antara hepatitis virus dengan hepatitis non-spesifik. Pada hepatitis virus, keluhan ikterik atau kuning menjadi keluhan yang paling dominan. Peningkatan transaminase merupakan manifestasi jika keluhan berlanjut. Sedangkan pada hepatitis non-spesifik kelemahan yang disertai peningkatan kadar serum transaminase yang tinggi.
Ikterik terjadi jika keluhan berlanjut lebih berat. Perjalanan penyakitnya seolah berlawanan. Perbedaan ini memberikan pemahaman baru. Baik pada hepatitis non-spesifik maupun hepatitis virus.
Keluhan ikterik menunjukkan jika masalah utama bukan pada liver, melainkan di darah. Bilirubin yang memberikan warna kuning (ikterik) merupakan produk akhir hasil pemecahan hemoglobin. Tak heran jika angka bilirubin yang tinggi juga akan disertai dengan keluhan anemia (kurang darah).
Artinya, infeksi virus pertama kali menyerang eritrosit. Virus bereplikasi di dalam eritrosit. Hal ini sangat unik karena di dalam eritrosit tidak ditemukan adanya ribosom. Ribosom ini adalah organel sel yang mampu mereplikasi atau mensintesa protein.
Di dalam eritrosit juga tidak ditemukan adanya lisosom. Lisosom ini yang berfungsi untuk mencerna jika ada infeksi virus atau bakteri. Masuknya virus ke dalam liver justru sangat menguntungkan inang karena sel-sel liver kaya dengan lisosom dan peroksisom, sehingga virus dapat dicerna dan dihentikan penyebarannya.
Sayangnya, untuk mengaktifkan lisosom dan peroksisom sel harus berada dalam kondisi hipoglikemia. Pada buku-buku hepatologi biasanya disebutkan keluhan akan membaik setelah terjadinya ikterik. Hal ini bisa ditafsirkan telah terjadi perpindahan virus dari darah ke liver. Virus dicerna oleh lisosom dan peroksisom di dalam liver. Hal ini dibuktikan dengan pemeriksaan antigen serum negatif.
Pada hepatitis non-spesifik, awalnya penderita masuk dengan keluhan gastrointestinal berupa muntah, diare, mual dan sebagainya.
Pada infeksi Covid-19, hal ini biasanya muncul sebagai rangsangan vasopresin. Vasopresin muncul sebagai reaksi peningkatan kadar glukosa darah. Peningkatan kadar glukosa ini terjadi akibat pengaruh sitokin pada pankreas. Sitokin mengakibatkan penghentian pelepasan insulin dan glukagon. Sitokin dilepaskan akibat adanya infeksi Covid-19.
Pada penderita yang mengalami diare umumnya akan diberikan terapi berupa penggantian cairan. Pemberian cairan dan diare dengan cepat akan menurunkan kadar glukosa darah.
Kondisi ini akan menghentikan pelepasan vasopresin. Namun penurunan kadar glukosa akan merangsang pelepasan glukagon. Pelepasan glukagon akan merangsang peroksisom untuk melakukan glukoneogenesis. Umumnya peroksisom banyak terdapat di ginjal dan liver. Glukoneogenesis menggunakan peroksida yang bersifat toksik dalam keadaan normal.
Namun peroksida ini akan dipecah menjadi air dan oksigen pada akhir reaksi dengan enzim peroksidase. Pemecahan peroksida menjadi oksigen dan air adalah sebuah reaksi keseimbangan : H²O² <=peroksidase=> H²O + O². Karena itu, jika pada saat yang sama diberikan air dan oksigen maka reaksi akan begeser ke kiri. Dibentuk kembali peroksida (H²O²). H²O² ini tentu akan merusak integritas sel, khususnya sel hati di mana proses glukoneogenesis terjadi.
Baca juga: Gejala Hepatitis Akut Misterius Anak yang Paling Banyak Ditemukan di Indonesia
Maka, jika tidak bijak dalam pemberian terapi cairan, khususnya di malam hari, akan terjadi peningkatan peroksida. Pada malam hari secara alami akan terjadi glukoneogenesis yang dipengaruhi oleh hormon kortisol. Hormon ini umumnya dilepaskan malam hari pada saat beristirahat. Jika tidak dihentikan pemberian cairan ini di malam hari, maka akan terbentuk peroksida semakin banyak. Akibatnya dapat dibayangkan, jumlah peroksida berlebih semakin merusak integritas sel hati. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan kadar serum transaminase.
Selain itu juga dikeluarkan berbagai macam mediator peradangan. Sehingga selain terjadi peningkatan transaminase juga timbul keluhan peradangan berupa demam, nyeri ulu hati, dan berbagai keluhan lainnya.
Secara mekanisme autofagi ada perbedaan penanganan pada dua jenis hepatitis ini. Pada hepatitis virus dilakukan diet penghentian karbohidrat dan tinggi protein agar merangsang starvasi sel. Kondisi ini akan merangsang peroksisom dan lisosom untuk mencerna virus.
Pada hepatitis non-spesifik harus dilakukan penghentian pemberian cairan pada saat istirahat. Hal ini dilakukan agar proses glukoneogenesis tidak terganggu dan peroksida dapat dipecah menjadi air dan oksigen. Bijaklah dalam terapi cairan. Salam, semoga menjadi inspirasi hidup sehat!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.