KOMPAS.com - Operasi mastektomi atau pengangkatan seluruh jaringan payudara, termasuk dalam terapi yang sering dilakukan dokter untuk mengobati kanker payudara.
Walau demikian, setelah sembuh tak jarang pasien merasa tidak percaya diri karena kondisi payudara yang berubah, misalnya tak berbentuk utuh atau dada menjadi rata.
Akibatnya, pasien juga merasa tidak nyaman saat berolahraga, sulit memilih baju, merasakan nyeri, hingga tidak percaya diri saat berhubungan seksual.
Kondisi tersebut sebenarnya bisa dicegah dengan bedah rekonstuksi payudara.
“Sebagai perempuan wajar jika merasa tidak utuh setelah tindakan pembedahan payudara. Karenanya bedah rekonstuksi pada penyintas kanker dapat meningkatkan kualitas hidup,” papar dokter spesialis bedah plastik rekonstuksi dan estetik, dr.M Rachadian Ramadan, Sp.B.P.R.E, Sub.Sp.M.O.(K), dari RS Pondok Indah Jakarta.
Baca juga: Mastektomi dan Lumpektomi, Operasi Untuk Mengatasi Kanker Payudara
Dia menjelaskan, tujuan dari tindakan ini adalah untuk mengembalikan payudara ke bentuk, tampilan, dan ukuran, yang mendekati normal, setelah mastektomi atau pun lumpektomi (operasi pengambilan sel kanker dan sebagian jaringan sehat di sekitar payudara).
Bedah rekonstuksi sudah berkembang cukup lama di dunia. Secara umum terdapat dua pilihan, yaitu menggunakan jaringan tubuh pasien sendiri (flap) dan juga implan.
“Rekonstruksi dengan implan menggunakan implan yang aman, bukan yang cair. Walau praktis, hasilnya natural, dan pemulihannya sangat cepat, tetapi implan yang dipasang harus diganti setiap 10-15 tahun,” kata Rachadian.
Selain itu, karena implan merupakan benda asing, terkadang ada reaksi penolakan dari tubuh pasien. Risiko infeksi juga bisa timbul, walau menurut Rachadian, dengan pengerjaan di rumah sakit yang steril serta dokter spesialis yang berpengalaman, risiko itu bisa ditekan.
Pilihan rekonstruksi berikutnya adalah memakai jaringan tubuh, misalnya lemak dari paha dalam, bokong, atau pun perut, yang disebut dengan flap.
Baca juga: Cerita Aida Saskia Melawan Kanker, Operasi Pengangkatan Payudara hingga Krisis Kepercayaan Diri
Metode yang paling baru adalah rekonstruksi dengan Diep Free Flap, menggunakan lemak dari perut dan juga menyambungkan pembuluh darah lewat teknik bedah mikro ke pembuluh darah resipien, sehingga kulit dan lemak dapat hidup di tempat yang baru.
“Kelebihan dari metode ini adalah bisa diambil volume lemak yang besar. Dinding perut pasien juga tetap utuh, sehingga tetap bisa hamil atau berolahraga,” papar Rachadian.
Dia menegaskan bahwa tindakan bedah rekonstruksi payudara merupakan tindakan yang melibatkan dokter multi disiplin, termasuk pasien itu sendiri.
“Pasien tentu harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan terapi karena pasien yang memiliki tubuh tersebut. Pelibatan ini juga akan meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan,” katanya.
Bedah rekonstruksi sendiri bisa dilakukan setelah operasi pengangkatan payudara atau diberi jeda beberapa bulan setelah seluruh pengobatan kanker selesai.
“Pilihannya tentu ada di tangan pasien dan juga sesuai dengan kebutuhannya. Semua perlu dikonsultasikan dengan dokter sebelum melakukan operasi mastektomi,” katanya.
Baca juga: 5 Ciri-ciri Awal Kanker Payudara, Wanita Perlu Tahu
Di negara maju, tindakan bedah rekonstruksi sudah menjadi kebutuhan pasien, karena berkaitan dengan kepercayaan diri dan kualitas hidup. Di Amerika Serikat, bedah rekonstruksi payudara juga ditanggung oleh pemerintah sebagai bagian dari pengobatan kanker.
“Di Indonesia belum dianggap sebagai kebutuhan, karena kebanyakan perempuannya cenderung mengenakan pakaian tertutup,” ujarnya.
Walau begitu, menurut dia, bedah rekonstruksi payudara merupakan hak pasien untuk mendapatkan kualitas hdup yang lebih baik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.