KOMPAS.com - Konsumsi makanan dengan lauk daging dan juga diolah dengan minyak masih menjadi pilihan banyak masyarakat selama berpuasa.
Hal itu terungkap dalam survei yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) terhadap 2.531 responden di Indonesia dalam studi Sustainable Eating Intention Index, di mana 68 persen responden menjawab tidak berniat mengurangi makanan mengandung minyak atau sumber yang mengandung lemak.
Peneliti utama dari HCC, Dr.Ray Wagiu Basrowi mengatakan, pola makan tinggi protein hewani dan juga penggunaan minyak bisa dikategorikan tidak berkelanjutan (sustainable).
“Perilaku yang paling tidak sustainable adalah aspek pilihan jenis dan bahan makanan yang secara mayoritas responden berniat tetap ingin mengonsumsi makanan dari daging, serta diolah dengan minyak olahan,” kata Ray.
Secara umum pola makan berkelanjutan merupakan sebuah konsep memilah dan memilih makanan yang akan dikonsumsi berdasarkan dampak produksi makanan tersebut terhadap kesejahteraan lingkungan.
Baca juga: Kurangi Sampah Makanan, Yuk Terapkan Pola Makan Berkelanjutan
Ray menjelaskan, penerapan pola makan berkelanjutan memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, antara lain mengurangi inflamasi, menurunkan risiko penyakit kronis, hingga membantu menjaga berat badan.
Sementara itu, bagi lingkungan pola makan ini dapat mengurangi sisa makanan yang dibuang, mencegah sampah berlebih, meningkatkan pertanian berkelanjutan, dan menurunkan tingkat polusi.
Dalam survei yang dilakukan HCC terungkap bahwa intensi orang Indonesia untuk menerapkan pola makan berkelanjutan menjelang puasa cenderung rendah.
Namun Ray mengungkapkan ada beberapa temuan indeks pola makan berkelanjutan yang dikategorikan baik, salah satu yang secara statistik signifikan adalah niat responden untuk menyimpan sisa makanan pada saat buka puasa dan menjadikannya sebagai menu sahur, serta keinginan untuk lebih banyak minum air putih dan atau air mineral dibanding minuman manis.
“Ini adalah sikap dan niat atau intensi yang konsisten dengan salah satu sustainable eating index yaitu ‘cut the waste’ atau mengurangi kecenderungan membuang sisa makanan,” katanya.
Analisa studi menunjukkan, ada beberapa alasan mengapa indeks sustainable eating masih rendah, salah satunya adalah kekhawatiran tidak tersedia stdok bahan pangan serta kemampuan membeli karena harga cenderung lebih mahal saat bulan puasa.
Baca juga: Apa Bedanya Food Loss dan Food Waste? Limbah Makanan yang Jadi Masalah
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.