LEBIH baik mencegah daripada mengobati. Kata bijak ini bukan sekadar kata mutiara kosong tanpa substansi. Sebab pada kenyataannya, biaya yang diperlukan untuk mencegah penyakit jauh lebih rendah dibandingkan biaya pengobatan.
Filosofi pencegahan penyakit atau lebih dikenal dengan istilah kesehatan preventif sudah sepatutnya menjadi pendorong terwujudnya tema Hari Kesehatan Dunia yang jatuh pada Jumat (7/4/2023), yaitu “Health for All” atau “Kesehatan untuk Semua”.
Tema tersebut secara utuh merangkum esensi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang digulirkan pada 2023, yakni bagaimana pemerintah dapat menghadirkan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Tentunya, misi RUU kesehatan tersebut tidak boleh menjadi jargon semata. Terlebih lagi dengan besarnya ancaman kesehatan, mulai dari stunting, hingga tren penyakit tidak menular yang akan terus membayangi masyarakat, baik bagi bayi, anak muda, hingga para orang tua.
Sebagai praktisi kesehatan masyarakat, saya sudah melihat langsung bagaimana minimnya akses kesehatan preventif yang dapat merenggut mimpi anak bangsa, bahkan merenggut nyawa tulang punggung keluarga.
Hingga kini, terdapat 4,7 juta anak dengan stunting. Mereka berisiko tidak akan pernah bisa mewujudkan potensi maksimalnya. Kejadian Luar Biasa Polio Aceh pada awal 2023 juga menunjukkan masih perlunya upaya penguatan vaksinasi anak secara lengkap dan tepat waktu.
Pada saat yang sama, kisah tragis pasien penyakit tidak menular seperti stroke, jantung, kanker berpotensi yang membuat masyarakat terpaksa kehilangan pendapatan, bahkan jatuh bangkrut akibat menanggung beban medis dan nonmedis bukanlah hal asing terjadi di Indonesia.
Studi ASEAN Cost in Oncology (ACTION) menemukan hampir 50 persen pasien kanker mengalami kebangkrutan atau masalah finansial setelah menjalani pengobatan selama 12 bulan.
Selain itu, data Bank Dunia menunjukkan bahwa total pembiayaan kesehatan mandiri atau out of pocket health expenditure Indonesia mencapai 34,76 persen. Jumlah ini jauh di atas rekomendasi Badan Kesehatan Duia (WHO), yakni sebesar 20 persen.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan dukungan asuransi pun, beban biaya kesehatan yang tidak terencana tetap menjadi tantangan.
Ironisnya, mayoritas penyakit katastropik yang tidak menular dapat dideteksi secara dini lewat tindakan preventif yang biayanya jauh lebih rendah, seperti pemeriksaan mammogram untuk perempuan sebagai tindakan pencegahan kanker payudara.
Dengan konsistennya tren peningkatan penyakit tidak menular, pencegahan menjadi sebuah keharusan. Transformasi pendekatan pelayanan kesehatan dari kuratif menuju preventif berpotensi menjadi game-changer dalam perang melawan penyakit dan malapetaka sosial-ekonomi. Prinsip dasarnya sangat sederhana, yakni mencegah lebih baik dan murah daripada mengobati.
Sayangnya, upaya mendorong optimasi pelayanan kesehatan preventif tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat ini, baru 33 persen penduduk Indonesia yang melakukan skrining atau cek kesehatan penyakit tidak menular.
Sebanyak 70 persen pasien kanker di Indonesia baru memulai pengobatan ketika sudah memasuki stadium lanjut. Hal ini tentunya menurunkan risiko keberhasilan pengobatan.
Padahal, dengan menggenjot kegiatan skrining kesehatan, Indonesia dapat mendorong penghematan beban biaya kesehatan. Data BPJS Kesehatan pada 2022 mencatat, beban pembiayaan penyakit tidak menular mencapai Rp 24,1 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan 2021 yang beban pembiayaannya sebesar Rp 17,9 triliun.
Diperlukan perubahan mindset hingga penguatan tata kelola sistem kesehatan yang berpusat pada pendekatan preventif.
Karena hal itu juga, tidak heran apabila kolaborasi lintas-lembaga dan pemangku kepentingan dalam rangka penguatan pelayanan kesehatan preventif menjadi salah satu aspek fundamental yang diusung oleh RUU kesehatan.
Melalui RUU Kesehatan, Pemerintah bermaksud merangkul lebih banyak mitra yang dapat mendorong jangkauan pelayanan kesehatan preventif. Misalnya, bagaimana pemberi kerja dapat mengambil peran lebih aktif dalam memfasilitasi pelayanan kesehatan promotif dan preventif, termasuk melalui perluasan amanah BPJS Kesehatan untuk mengikutsertakan program deteksi dini.
Peran pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dalam mengimplementasikan kebijakan kesehatan preventif juga semakin ditegaskan di dalam draft RUU Kesehatan saat ini.
Hal tersebut penting untuk disoroti menimbang potensi pemanfaatan fasilitas layanan primer yang sudah dibangun pemerintah.
Saat ini, terdapat lebih dari 10.200 unit puskesmas yang tersebar di Indonesia. Dengan infrastruktur kesehatan yang ada, kini tantangannya adalah bagaimana kita dapat meningkatkan kualitas pelayanan serta infrastruktur pendukung, seperti alat kesehatan sehingga pelayanan kesehatan preventif dapat berjalan secara optimal.
Dengan mempertegas tanggung jawab pemerintah, serta peran pemangku kepentingan terhadap pelayanan kesehatan preventif di tatanan Undang-Undang, maka masyarakat tidak hanya berhak menuntut hak atas pelayanan kesehatan, tetapi secara khusus terhadap akses pelayanan preventif seperti skrining kesehatan, pemantauan kesehatan calon ibu dan anak, hingga peningkatan cakupan vaksinasi anak.
Kementerian Kesehatan telah menginisiasi program 14 skrining penyakit prioritas yang terdiri atas penyakit penyebab kematian tertinggi di setiap sasaran usia. Di antaranya skrining penyakit hipotiroid kongenital, thalasemia, anemia, stroke, serangan jantung, hipertensi, penyakit paru obstruksi kronis, tuberkulosis, kanker paru, hepatitis, diabetes, kanker payudara, kanker serviks, dan kanker usus.
Tindakan untuk deteksi dini menjadi krusial dan mendesak karena berbicara penyakit, nyawa adalah taruhannya. Mayoritas dari 14 penyakit prioritas merupakan penyebab utama kematian terbanyak di Indonesia seperti stroke, jantung, dan diabetes.
Ketiganya merupakan tiga penyakit teratas penyebab kematian di Indonesia. Bisa dibayangkan berapa berapa jumlah nyawa yang bisa terselamatkan dengan memberikan akses deteksi ini kepada masyarakat Indonesia, terutama kepada mereka yang tidak mampu?
Besar harapan dengan transformasi yang diusung RUU Kesehatan, kita dapat mendekatkan akses masyarakat terhadap skrining 14 kesehatan penyakit prioritas tersebut. Dengan begitu, hal ini adalah sebuah keniscayaan.
Kini, kita telah memiliki infrastruktur kesehatan dasar yang dapat menunjang optimasi pelayanan kesehatan preventif. Hal yang dibutuhkan sekarang adalah wewenang yang lebih kuat bagi pemerintah untuk dapat mengejawantahkan semangat pencegahan penyakit dengan lebih baik untuk menyelamatkan harkat hidup orang banyak. Selamat Hari Kesehatan Dunia!